Pesan Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily : Jangan Merendahkan Pendapat Fikih yang Berbeda

N Zaid - Fiqih Islam 02/05/2024
Ilustrasi. Pixabay
Ilustrasi. Pixabay

Oase.id - Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily memberi pesan yang kuat tentang bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan pendapat fikih.

Dikutip dari shahihfiqih, Syaikh  Ruhaily menekankan pentingnya menjaga rasa persaudaraan, meski berbeda pendapat dengan sesama muslim lain dalam hal fiqih. Terutama, dalam menyikapi perbedaan itu, menurut Syaikh, jangan sampai ada sikap merendahkan pendapat yang lain. 

Berikut ceramah Syaikh Sulaiman bin Salimullah Ar-Ruhaily, yang merupakan salah satu imam besar Madinah kelahiran tahun 1964 ini:

Permasalahan fikih itu para ulama dan ahli fikih telah berijtihad padanya. Mereka semua menguatkan dan menyetujui pendapat fikih yang dirasa lebih dekat kepada dalil.

Selalu saya nasihatkan kepada saudara ku sekalian jangan terlalu fanatik dalam masalah fikih! Dalam arti, jangan jadikan pendapat yang engkau kuatkan seperti anakmu, atau seakan-akan agama ini hanya pendapat itu saja dan bagi yang menyelisihinya telah menyelisihi agama. 

Sebagian orang apabila telah menguatkan suatu pendapat ulama dalam urusan fikih, ia sangat fanatik dengan pendapat tersebut, lalu menganggap seakan-akan agama hanya pendapat itu. 

Kita melihat ada orang yang menyelisihi pendapatnya, ia langsung bergumam, "A'udzu billah, Laa haula.., Nas'alullah as-salamah". Bukan begini cara menyikapi perbedaan fikih!

Pembahasan fikih amatlah luas. Yang wajib adalah menguatkan (memilih) pendapat yan dirasa lebih sesuai dengan dalil, tanpa memaksakan pendapat tersebut kepada orang lain. 

Oleh karena itu wahai saudaraku, kita dapati para ahli fikuh, mereka menguatkan suatu pedapat, namun mereka tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain.

Bahkan terkadang ada yang sampai menyifati pendapat lain dengan kata-kata yang keras, akan tetapi ia tidak keras kepada pelakunya.

Syaikh Albani contohnya, beliau berpendapat bahwa bersedekap setelah ruku' adalah bid'ah dari negeri Hijaz.

Maka saya sanggah, "Ya memang bid'ah, tetapi bid'ah sebagaimana yang dikatakan Umar, ini sebaik-baik bid'ah.
Sedekap setelah ruku' merupakan sunnah, meskipun sunnah ini tidak diketahui sebagian orang. 

Syaikh Albani mengatakan itu adalah bid'ah dari negeri Hijaz. Tetapi beliau tidak pernah kepada Syaikh Bin Baz yang notabene beliau bersedekap setelah ruku' dan meyakini hal itu sunnah.

Bahkan dikabarkan kepadaku bahwa Syaikh Albani pernah berkata, "Seandainya aku shalat di belakang Syaikh Bin Baz niscasya aku akan ikut bersedekap setelah ruku."

Hanya saja ucapan ini tidak langsung saya dengar dai Syaikh al-Albani, hanya sebuah kabar yang sampai kepadaku.

Wahai para penuntut ilmu, wahai siapa pun yang mendengar ini dariku! Perhatikan! Anda tidak harus sama dengan pendapat fikih ku!

Saya tidak pernah menuntut hal itu! dan engkau tidak harus menjadi cerimanan gurumu (dalam berpendapat)!

Namun yang seharusnya adalah mengetahui dan memahami kemudian menguatkan pendapat dengan ilmu.

Kuatkan pendapat yang kamu rasa lebih dekat kepada dalil Al-Quran Sunnah dan dalil logis! Inilah kaedah dalam menyikapi perbedaan pendapat fikih. Wajib bagi kita berlapang dada dalam menyikapi perbedaan fikih.

Berkali-kali saya katakan bahwa manhaj salaf dalam menyikapi perbedaan pendapat fikih adalah berusaha mengembalikannya kepada al-Quran dan as-Sunnah, dengan harapan akan ada satu katadalam masalah tersebut.

Ini kewajiban pertama dalam menyikapi perbedaan pendapat. Lalu, kita tidak boleh senang dengan adanya perbedaan! Kita juga tidak boleh mengatakan "Biarkan saja manusia berbeda-beda seperti itu", tetapi kita katakan, "Mari kita kembalikan permasalahan ini kepada al-Quran dan as-Sunnah! Semoga kita bisa mengakhiri perselisihan dalam masalah ini. 

Ini kewajiban pertama, dan inilah jalan para salaf. Dan jika masih terjadi perbedaan pendapat juga, sebagaimana pernah terjadi di kalangan para sahabat, dahulu sebagian sahabat ada yang memiliki pendapat tertentu dan belum mengetahui sunnah (hadits)nya, namun ketika mereka diberitahu haditsnya, akhirnya dia mengikuti petunjuk hadits tersebut. Dan jika kesepakatan pendapat belum juga terwujud karena perbedaan sudut pandang dan kemungkinan adanya maksud lain pada dalilnya, maka manhaj salaf memberikan dua (2) petunjuk dalam menyikapi perbedaan pendapat.

Petunjuk pertama, perbedaan pendaat tidak boleh membuat dalil-dalil dihina dan tidak boleh membuat pendapat yang dianggap lemah direndahkan. Mengikuti suatu pendapat tidak boleh membuat kita menolak dalil. Seperti berkata,"Jangan sebutkan dalilnya saudaraku, jangan!"

"Ulama dari dulu sudah berselisih, dan pembahasan masalah ini luas".

"Kenapa kamu bawakan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam? Jangan! kita tidak perlu itu".

"Masalah ini sudah diperselisihkan dan pembahasannya luas, umat tidak perlu dipersempit dengan hadits-hadits!".

"Cukup para musuh saja yang mempersempit umat, mengapa kamu turut mempersempit umat dengan mengatakan ini haram? dst.." Padahal masih ada perbedaan pendapat!

Seperti ini tidak dibolehkan! dan bukan termasuk manhaj salaf. Dalil tidak boleh diremehkan hanya karena perbedaan pendapat. Dalil harus tetap dijunjung tinggi!

Perbedaan pendapat tidak boleh membuat pendapat yang lemah direndahkan. Karena, bagaimana pun pendapat tersebut tetap dinisbatkan kepada agama, dan mungkin saja pendapat tersebut yang benar. 

Meskipun kamu sudah menguatkan suatu pendapat dengan sungguh-sungguh, tetap saja ada kemungkinan pendapat yang kamu remehkan itulah yang benar. 

Berkali-kali saya sampaikan, saudaraku, di sana masih ada orang yang merendahkan sebagian gerakan salat yang dinilainya tidak kuat.

Dahulu, sebagian pengikut madzhab Haniafi semoga Allah mengampuni mereka dan kita semua, gara-gara pendapat mereka yang mengatakan bahwa mengangkat tangan hanya ketika takbiratul ihram saja, dan tidak mengangkat tangan ketika hendak ruku' dan bangkit dari ruku'.

Salah satu dari mereka berkata kepada salah seorang ulama, "Apa yang diinginkan dengan mengangkat tangan?! ingin terbang?!"

Maksudnya dia menghina orang mengangkat tangan ketika salat dengan mengatakan,"ingin terbang".

Maka ulama tadi menjawabnya dengan kalimat yang sangat indah: "Ya kami ingin terbang ke surga dengan sunnah!".

Dia ingin terbang ke surga dengan sunnah (mengangkat tangan).

Perbuatan ini sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam meskipun tidak shahih menurut kalian. 

Sebagian lagi ada yang menjawab "Dan apakah kalian juga ingin terbang dengan mengangkat tangan ketika takbiratul ihram?"

"Bukankah kalian berpendapat ketika takbiratul ihram tangan juga diangkat? Apakah ingin terbang juga?"

Dan sekarang sebagian penuntut ilmu berpendapat bahwa jari telunjuk tidak perlu digerakkan saat tasyahhud. Cukup dengan isyarat saja.

Pendapat seperti ini boleh-boleh saja, silahkan pilih pendapat ini bagi yang menilainya kuat. Karena para ulama memang berbeda pendapat dalam lafadz haditsnya, sebagian mengatakan itu adalah sifat tambahan dari periwayat hatids yang terpercaya namun sebagian mengatakan periwayatnya tersebut telah menyelisihi periwayat yang lebih baik. 

Permasalahan ini sangat luas! Meskipun kami pribadi berpendapat bahwa yang sunnah adalah mengggerakan jari. Tapi tetap saja permasalahan ini luas. Sebagian yang berpendapat tidak menggerakan jari berkata, "Untuk apa menggerakan jari? Ingin menari?!

Subhanallah! Jangan hina pendapat yang menurutmu lemah! Karena bagaimana pun pendapat itu tetap dinisbatkan kepada agama, dan mungkin pendapat itu yang benar!

Petunjuk kedua, Jangan sampai perbedaan pendapat fikih membuat hati kita saling berselisih. 

Hati kita harus teatp saling mencintai meskipun berbeda pendapat fikih. Ketika kita salat di shaf yang sama, lalu setelah bangkit dari ruku'tangan saya kembali sedekap dan tanganmu tidak, kita masih saling mencintai dan beranggapan satu sama lain amsih berada di atas sunnah. 

Inilah jalan yang ditempuh para salafus shalih.  Pendapat mereka berbeda demi mencari kebenaran tapi hati mereka tetap bersatu.

Perbedaan pendapat fikih bukan tolok ukur yang menentukan ini sunnah, ini bid'ah! Sebagian orang sungguh kasihan sekali, hobinya melirik-lirik pada perbuatan seseorang. Apabila dilihatnya sesuai dengan pendapatnya dia akan berkomentar,"MasyaAllah! Ini baru Salafi, Ahlussunah!".

Dan apabila ia melihatnya tidak sesuai dengan pendapatnya, bergumam,"Allahulmusta'an kita berlindung dari para pengikut hawa nafsu!".

Sebagian mereka memperhatikanmu setelah bangkit dari rku, apakah kamu kembali bersedakap atau tidak?

Jika kamu kembali sedekap, Dia langsung berkomentar, "Salah dia!, Allahul musta'an, La haula wa laa quwwata illa billah!".

"Alhamdulillah, ya Allah berikanlah aku keteguhan."

Sebagian lagi melirik ke jam tanganmu, di sebelah kanan atau kiri?

Jika didapatinya ada di sebelah kiri dia akan bergumam:"Saudaraku, Allahul musta'an, ke-salafiyah-an mu lemah sekali!"

Bukan seperti ini dalam menyikapi perbedaan pendapat!

Kita berbeda pendapat untuk lebih dekat kepada kebenaran. Namun hati kita tidak boleh saling berselisih. Hati kita tetap harus saling mencintai dan mengasihi.

Yunus As-Shodafi pernah mengatakan,"Aku tak pernah melihat orang yang lebih cerdas dari Asy-Syafi'i". Aku pernah berdiskusi dengannya tetang suatu permasalahan, esok harinya ia menemuiku. Ia pun menggenggam tanganku" seraya berkata, "Masih bisakah kita saling bersaudara meskipun kita berbeda pendapat?"

Ini petunjuk dari para salaf! Hendaknya ini kita fahami baik-baik wahai saudaraku! Kita jauhi sifat fanatik terhadap pendapat tertentu, dengan menganggap bahwa pendapat itulah agama yang benar, seakan-akan selain itu adalah bid'ah.

Pendapat-pendapat fikih dan permasalahan ijtihadiyyah yang diperselisihkan oleh para ulama, satu sama lain saling berselisih dalam menguatkan pendapat. Dan pasti akan terus seperti itu, sekarang kita yang berselisih, dan akan datang generasi setelah kita (yang berselisih juga nanti) apabila Allah kehendaki, semoga Allah menjaga agama ini dan para penganutnya.

Tetapi intinya, hendaknya kita tetap mengagungkan dalil dan memposisikannya sebagai atap teratas, kemudian kita semua harus berusaha menggapai pendapat yang lebih dekat dengannya. Apabila sudah seperti itu, maka perselisihan di antara kita bukanlah suatu kemungkaran, dan tidak boleh membuat hati kita berselisih. Na'am.


 


(ACF)
TAGs: Fiqih Islam