Hukum Menjual Air Sumur Dalam Islam, Ternyata Tidak Boleh?

N Zaid - Fiqih Islam 15/06/2025
Foto: Pixabay
Foto: Pixabay

Oase.id - Dalam tradisi Islam, air, api, dan rumput sering disebut sebagai kebutuhan dasar yang semestinya tidak diperjualbelikan. Landasan dari prinsip ini berasal dari hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Ahmad, di mana Nabi bersabda, "Tiga hal yang tidak boleh dilarang penggunaannya: air, rumput, dan api." Dalam redaksi lain disebutkan, "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, api, dan rumput." Hadits ini menjadi pondasi bagi para ulama dalam menetapkan pandangan mereka tentang hak milik dan distribusi sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Ketika Nabi Muhammad ﷺ menyampaikan hadits ini, konteksnya adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan padang pasir, di mana air dan rumput merupakan sumber kehidupan bagi manusia dan hewan. Api pun pada masa itu bukan sekadar sumber penerangan, melainkan juga alat untuk bertahan hidup, memasak, dan menghangatkan diri. Ketiga elemen ini menjadi simbol dari sumber daya yang vital dan umum, sehingga tidak selayaknya dimonopoli atau dikomersialkan hingga menghalangi hak orang lain yang membutuhkan.

Para ulama kemudian menafsirkan hadits ini dengan pendekatan fiqih dan maqashid syariah (tujuan-tujuan utama syariat). Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu' menjelaskan bahwa larangan menjual air, rumput, dan api berlaku jika sumber-sumber itu tersedia secara umum dan tidak memerlukan usaha khusus untuk memperolehnya. 

Air misalnya, jika berasal dari mata air alami atau sumur yang masih berlimpah dan belum dimiliki secara pribadi, maka tidak boleh dijual. Namun jika seseorang menggali sumur di tanah miliknya sendiri, mengerahkan tenaga dan biaya, maka air itu bisa menjadi miliknya dan ia diperbolehkan menjualnya—meski tetap dianjurkan untuk bersedekah dengan memberi air kepada yang membutuhkan.

Imam Malik juga memandang bahwa air yang berlimpah dan dibutuhkan oleh banyak orang semestinya tidak dijual, karena menjualnya bisa mengarah pada ketidakadilan dan kesulitan bagi masyarakat. Dalam Al-Muwaththa, beliau menekankan pentingnya distribusi air dalam kehidupan komunitas Muslim, apalagi dalam iklim yang keras seperti Jazirah Arab.

Ulama kontemporer juga menyoroti aspek keadilan sosial dari hadits ini. Mereka menekankan bahwa makna hadits harus ditafsirkan dalam konteks zaman dan kebutuhan masyarakat modern. Air bersih, misalnya, kini menjadi isu global yang melibatkan privatisasi dan krisis lingkungan. Menjual air dalam kemasan atau melalui saluran distribusi modern bisa diperbolehkan secara fiqih, tetapi tetap dengan prinsip tidak merugikan masyarakat umum dan tidak melanggar hak orang lain terhadap sumber daya tersebut.

Dalam buku Sifat Perniagaan Nabi ﷺ, yang ditulis Dr Muhammad Arifin bin Badri, MA dituliskan bahwa di antara hikmah larangan ini adalah, dikarenakan air sumur ini keluar bukanlah karena upaya manusia, akan tetapi murni karena kuasa Allah Azza wa jalla. Oleh karena itu mungkin saja ada orang yang menggali sumur hingga dalam, ternyata tidak berhasil mendapatkan air walau hanya setetes. 

Dan sebaliknya, ada orang yang menggali dua atau tiga meter, akan tetapi air yang keluar darinya berlimpah ruah, ini membuktikan bahwa air sumur tidaklah keluar karena usaha dan perbuatannya, akan tetapi ia hanay sebagai perantara. Karena inilah ia tidak memiliki air tersebut, dan karena ia tidak meilikinya, maka ia tidak sah untuk memperjual belikannya.

Ada pun bila air sumur tersebut telah ia miliki, yaitu dengan ditimba dan kemudian ditampung di sebuah bak penampungan, maka ia boleh menjualnya karena dengan ditimba dan ditampung air itu telah menjadi miliknya.

Begitu pula dengan rumput, yang di masa lalu merupakan sumber makanan utama ternak. Jika seseorang memiliki padang rumput terbuka yang tumbuh secara alami, maka masyarakat boleh memanfaatkannya. Tapi jika rumput itu ditanam dengan usaha tertentu atau berada dalam tanah milik pribadi yang diurus dengan biaya, maka pemiliknya memiliki hak untuk menjual atau melarang penggunaannya.

Sedangkan api, yang dalam konteks sekarang dapat diterjemahkan sebagai energi—seperti listrik atau gas—menjadi perdebatan baru di kalangan ulama. Apakah listrik yang dihasilkan oleh sumber daya negara boleh dimonopoli dan dijual dengan harga tinggi? Apakah energi terbarukan seperti matahari dan angin bisa dikuasai segelintir pihak? Sebagian ulama melihat bahwa nilai dari hadits ini dapat diperluas menjadi prinsip moral dan hukum untuk mencegah privatisasi berlebihan atas sumber daya yang seharusnya dinikmati bersama.

Inti dari syariat Islam adalah menjaga kemaslahatan umat. Oleh karena itu, menjual air sumur, api, atau rumput tidak serta-merta dilarang secara mutlak. Yang dilarang adalah menjadikannya komoditas eksklusif yang menghalangi hajat hidup orang banyak. Dalam banyak kasus, Islam membolehkan transaksi jika diiringi dengan prinsip keadilan, kemanfaatan, dan tidak merugikan hak orang lain.

Dengan demikian, hadits Nabi ﷺ tentang kepemilikan bersama atas air, rumput, dan api bukan sekadar nas fiqih, melainkan sebuah pesan sosial yang mendalam: bahwa sumber daya alam adalah amanah, dan setiap manusia memiliki hak untuk mengakses kehidupan yang layak tanpa harus membayar mahal untuk hal-hal yang secara fitrah diberikan oleh Allah untuk semua makhluk.


(ACF)
TAGs: Fiqih Islam