Ketika Rumah Tangga 2 Sahabat Rasulullah Berakhir

N Zaid - Pernikahan Sahabat Nabi Muhammad 07/07/2022
Ilustrasi: Unsplash
Ilustrasi: Unsplash

Oase.id - Allah subhanahu wa ta a’la tidak memandang kemuliaan seseorang dari pangkatnya, hartanya, nasabnya atau pun fisiknya. Yang paling utama adalah ketaqawaan kepada Nya. Siapa yang paling bertakwa, dialah yang paling dianggap mulia di sisi Allah. 

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

Demikian Islam mengajarkan kepada umatnya agar tidak merendahkan seseorang hanya karena kurang secara materi, atau memiliki perbedaan warna kulit. Dalam hal memilih pasangan, Islam pun menekankan pentingnya ketaqwaan seseorang sebagai poin pertimbangan utama, setelah itu aspek lain.

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari no.5090, Muslim no.1466).

Dari Abu Hatim Al Muzanni radhiallahu’anhu, Rasulullah ﷺ juga bersabda:

“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi” (HR. Tirmidzi no.1085).   

Demikian, dalam memilih pasangan hidup, selain faktor ketaqwaan, dianjurkan pernikahan juga dilatari dengan kesetaraan atau sekufu antara calon istri dan calon suami.

Sebab permasalahan kesetaraan tersebut besar pengaruhnya terhadap kualitas keharmonisan rumah tangga. Contoh kasus bila seorang suami secara pendidikan, harta dan nasab lebih rendah (di mata masyarakat) dari sang Istri, hubungan suami-istri keduanya dikhawatirkan berpotensi sering diwarnai ganjalan. 

Para ulama sepakat bahwa kesetaraan ini menyangkut permasalahan agama. Seperti contoh, Wanita muslim haruslah menikah dengan pria muslim bukan pria kafir. Namun, apakah masalah kesetaraan itu terkait hal lain seperti garis keturunan, kekayaan, pangkat, jabatan dll,  para ulama berselisih pendapat tentang hal tersebut. 

Di luar itu, dikisahkan Jamilah binti Abdillah  (sahabat perempuan) di masa Nabi Muhammad ﷺ yang meminta cerai karena memiliki ganjalan di hati yang muncul setelah menikah dengan Tsabit bin Qais. Jamilah menerima Tsabit bin Qais tidak dengan pertimbangan macam-macam, melainkan hanya pertimbangan sebagai sesama muslim.  Tsabit pun baik agamanya.

Namun, setelah sekian lama menjalani rumah tangganya, Shahabiyah  itu mengadu kepada Rasulullah ﷺ bahwa ia telah bertahun-tahun menikah dengan sahabat Nabi ﷺ tersebut, dan seiring waktu ia semakin melihat kekurangan fisik suaminya, sehingga ia merasa berat untuk melayaninya. Ia khawatir telah durhaka sebab itu ia ingin bercerai darinya. 

Ketika itu Nabi ﷺ bertanya apakah Jamilah sanggup memulangkan maharnya, yang berupa kebun, Ia menyatakan sanggup, sehingga akhirnya setelah menimbangnya, Nabi ﷺ meminta Tsabit bin Qais menerima keinginan Jamilah untuk bercerai. Nabi ﷺ mengkhawatirkan jika diteruskan tidak ada ketenangan dalam rumah tangga pasangan itu.

“Masalah fisik masuk juga dalam kufu,”  kata Ustaz Khalid Basalamah dalam sebuah majelis.
Pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini adalah bahwa selain agama, seseorang juga perlu memperhatikan faktor lain sebagai bahan pertimbangan. Tidak memaksakan diri, namun kemudian merasa berat menjalani pernikahan tresebut.

Hal serupa juga pernah terjadi pada pernikahan Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy. Keduanya dinikahkan oleh Rasulullah ﷺ. Zainab sendiri dikisahkan datang dari latar belakang keluarga yang strata sosialnya lebih tinggi dari Zaid. Karena  Rasulullah yang meminta, Zainab yang semula sempat menolak, akhirnya bersedia menikah dengan Zaid. 

Namun berselang waktu, rumah tangga keduanya guncang. Zaid beberapa kali mengadu kepada Nabi ﷺ untuk dapat bercerai dengan Zainab. Setelah setahun pernikahan, Zaid merasa tidak tahan lagi dengan lisan istrinya tersebut yang sering merendahkannya, atas dasar nasab. Sampai Rasulullah ﷺ akhirnya mempersilakan Zaid, yang merupakan anak angkatnya itu, untuk menceraikan Zainab.  

Zaid bin Haritsah sendiri datang dari kalangan bekas budak, sementara Zainab memiliki latar belakang terpandang di kaumnya.

Dua riwayat ini membawa hikmah yang besar bahwa pernikahan hendaklah didasari kesetaraan, sehingga suami istri dapat saling menghargai dan menghormati. Pernikahan adalah perjalanan ibadah yang paling panjang, maka kesepadanan menjadi faktor penting yang dapat merawat tali pernikahan sehingga tujuan pernikahan dapat lebih mudah tercapai, yaitu ketentraman, saling mengasihi dan menyayangi.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakaan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS ar-Rum [30] : 21) 


(ACF)