Haruskah Izin kepada Istri Pertama Untuk Berpoligami?

N Zaid - Pernikahan 25/12/2025
Haruskah Izin kepada Istri Pertama Untuk Berpoligami?. Foto: Pixabay
Haruskah Izin kepada Istri Pertama Untuk Berpoligami?. Foto: Pixabay

Oase.id - Perbincangan tentang poligami tanpa izin istri kerap memunculkan polemik. Di satu sisi, hukum negara di Indonesia mengatur poligami secara ketat dan menjadikan persetujuan istri sebagai syarat utama. Namun di sisi lain, dalam kajian fikih Islam, muncul pandangan yang menyatakan bahwa poligami tetap sah secara agama meskipun dilakukan tanpa izin istri pertama. Perbedaan inilah yang sering kali menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat.

Poligami dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam Islam, poligami pada dasarnya adalah perbuatan yang dibolehkan (mubah) dengan batasan dan syarat tertentu. Kebolehan ini bersumber langsung dari Al-Qur’an dan praktik Nabi Muhammad SAW. Dalil utama tentang poligami terdapat dalam firman Allah SWT:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja...”
(QS. An-Nisa’: 3)

Ayat ini menjadi dasar kebolehan poligami dalam Islam. Menariknya, ayat tersebut tidak mensyaratkan adanya izin istri pertama sebagai rukun atau syarat sah poligami. Yang ditekankan justru adalah kemampuan suami untuk berlaku adil.

Dalam ilmu fikih, keabsahan pernikahan ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat nikah, yaitu adanya calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi, serta ijab dan kabul. Selama unsur-unsur ini terpenuhi, maka akad nikah dianggap sah secara syar’i, baik itu pernikahan pertama maupun pernikahan berikutnya.

Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali bersepakat bahwa izin istri pertama bukan syarat sah akad nikah poligami. Hal ini karena dalam hukum Islam, istri tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan atau menghalangi hak suami untuk menikah lagi, selama pernikahan tersebut memenuhi ketentuan syariat.

Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu menjelaskan bahwa poligami merupakan hak laki-laki yang dibatasi oleh syarat keadilan dan kemampuan, bukan oleh persetujuan istri. Oleh karena itu, secara fikih, pernikahan poligami tanpa izin istri tetap sah dan memiliki konsekuensi hukum keagamaan, seperti kewajiban nafkah dan hak waris.

Dalil lain yang sering dikemukakan adalah praktik para sahabat Nabi. Banyak sahabat Rasulullah SAW yang melakukan poligami tanpa adanya riwayat bahwa mereka meminta izin istri sebelumnya. Seandainya izin istri merupakan syarat sah, tentu hal tersebut akan dijelaskan secara tegas oleh Nabi Muhammad SAW.

Batasan Moral dan Tanggung Jawab dalam Islam

Meskipun sah secara hukum Islam, para ulama menegaskan bahwa poligami bukanlah perbuatan yang bebas dari tanggung jawab moral. Islam memberikan peringatan keras tentang keadilan dalam poligami. Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa memiliki dua istri lalu condong kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan bahu yang miring.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan bahwa ketidakadilan dalam poligami merupakan dosa besar, meskipun akad nikahnya sah. Karena itu, sebagian ulama memandang bahwa meskipun izin istri tidak menentukan sah atau tidaknya pernikahan, mempertimbangkan perasaan dan kemaslahatan istri merupakan bagian dari akhlak dan tanggung jawab seorang suami.

Perbedaan dengan Hukum Positif di Indonesia

Berbeda dengan hukum Islam, hukum positif di Indonesia menjadikan izin istri dan izin pengadilan sebagai syarat mutlak untuk melakukan poligami. Tanpa izin tersebut, pernikahan tidak diakui oleh negara dan dapat menimbulkan konsekuensi hukum, termasuk sanksi pidana dan tidak diakuinya hak-hak istri maupun anak secara administratif.

Dengan demikian, muncul perbedaan yang jelas: sah secara agama tidak selalu berarti sah secara hukum negara. Seorang laki-laki yang berpoligami tanpa izin istri mungkin sah menurut fikih Islam, tetapi tetap melanggar hukum positif jika dilakukan tanpa prosedur resmi.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum, poligami tanpa izin istri dan tanpa izin pengadilan tidak sah secara hukum negara dan berpotensi menimbulkan masalah hukum serius. Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia perlu memahami perbedaan antara hukum syariat dan hukum positif agar tidak terjebak dalam persoalan hukum dan sosial yang berkepanjangan.


(ACF)
TAGs: Pernikahan