Aksi Pahlawan dalam Penembakan di Sydney Cermin Nilai Luhur Islam

N Zaid - Diskriminasi Islam 19/12/2025
Ahmed al Ahmed pahlawan dalam penembakan di Sydney. Foto: Ist
Ahmed al Ahmed pahlawan dalam penembakan di Sydney. Foto: Ist

Oase.id - Sering kali, jati diri sebuah masyarakat justru tampak paling jelas ketika berada dalam situasi genting. Dalam kondisi darurat, tindakan spontan seseorang dapat berbicara lebih lantang daripada narasi apa pun. Hal itu terlihat pada Minggu (14/12) di Sydney, Australia, ketika sebuah perayaan Hanukkah di Bondi Beach diserang oleh orang bersenjata.

Di tengah kepanikan, seorang pria Muslim bernama Ahmed al Ahmed, imigran Australia kelahiran Suriah berusia 43 tahun, justru berlari ke arah bahaya. Ia menghadang dan melucuti salah satu pelaku penembakan. Aksi berani itu diyakini telah menyelamatkan banyak nyawa. Pemerintah Australia dan berbagai pihak internasional pun mengapresiasi tindakannya sebagai perbuatan heroik.

Namun, tak lama setelah peristiwa tersebut, muncul upaya sistematis untuk mengaburkan fakta. Sejumlah tokoh di media sosial yang dikenal kerap menyebarkan sentimen anti-Islam menyangsikan identitas Ahmed. Tanpa dasar, mereka menyebut Ahmed bukan Muslim, melainkan penganut agama lain. Fakta bahwa seorang Muslim mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan warga Yahudi dianggap tidak sesuai dengan narasi kebencian yang selama ini mereka bangun.

Fenomena ini bukan kejadian tunggal. Pada hari yang sama, insiden penembakan juga terjadi di Brown University, Amerika Serikat. Di tengah simpang siur informasi, sebagian pihak bahkan berharap pelaku penembakan berasal dari kalangan Muslim agar tragedi tersebut bisa dimanfaatkan untuk memperkuat stigma. Ironisnya, salah satu korban yang tewas justru seorang mahasiswa Muslim. Fakta ini nyaris luput dari perhatian mereka yang sebelumnya begitu lantang menuduh.

Inilah wajah Islamofobia yang semakin mengkhawatirkan: prasangka yang begitu mengakar hingga kebenaran harus disesuaikan dengan kepentingan narasi. Ketika seorang Muslim menjadi pahlawan, identitasnya dihapus. Ketika seorang Muslim menjadi korban, kemanusiaannya diabaikan.

Islamofobia bukanlah kesalahpahaman semata, melainkan sebuah industri opini yang digerakkan oleh ketakutan, distorsi, dan dehumanisasi. Di berbagai negara Barat, sentimen anti-Muslim terus diproduksi dan disebarluaskan melalui potongan video yang dimanipulasi, narasi yang dipelintir, serta pemberitaan yang tidak seimbang.

Berbagai kajian dan investigasi menunjukkan bahwa Islamofobia kerap dimanfaatkan sebagai alat politik global, termasuk untuk mengalihkan perhatian dari kekerasan kemanusiaan dan membungkam kritik terhadap ketidakadilan, seperti yang terjadi di Palestina. Umat Islam sering kali diposisikan sebagai ancaman, bukan sebagai manusia dengan hak dan martabat yang sama.

Padahal, teladan yang ditunjukkan Ahmed al Ahmed justru mencerminkan nilai-nilai luhur Islam itu sendiri. Ia tidak menanyakan latar belakang agama orang-orang yang ia lindungi. Ia bertindak karena iman, nurani, dan keberanian—nilai yang diajarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Peristiwa ini menjadi pengingat penting bahwa umat Islam adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat global. Mereka adalah pelajar, pekerja, tetangga, orang tua, dan dalam banyak keadaan, pelindung bagi sesama manusia.

Jika sebuah masyarakat ingin tumbuh dengan adil dan beradab, maka kebenaran harus lebih diutamakan daripada ketakutan. Kemanusiaan harus lebih dijunjung daripada propaganda. Dan martabat manusia harus berdiri di atas kepentingan politik apa pun.

Di tengah derasnya arus Islamofobia, kebenaran akan selalu menemukan jalannya. Sebab akhlak yang baik, seperti yang ditunjukkan Ahmed al Ahmed, adalah dakwah paling nyata—tanpa kata, namun penuh makna.


(ACF)