Dari Espresso hingga Matcha, Bagaimana Ritual Es Global di Musim Panas

Oase.id - Musim panas punya caranya sendiri merayakan hidup — sandal jepit, langit biru, suara ombak, dan tentu saja, minuman dingin di tangan. Kalau dulu es Americano atau kopi dingin biasa sudah cukup, sekarang kita memasuki babak baru dalam budaya kafein: era minuman dingin yang bukan cuma menyegarkan, tapi juga jadi pernyataan gaya.
Bayangkan segelas espresso tonic dengan setangkai rosemary, es matcha latte creamy dengan susu oat, atau bahkan minuman eksperimental seperti kopi dengan sirup lavender. Rasanya bukan cuma segar di mulut, tapi juga “menggoda kamera”. Karena hari ini, yang kita minum bukan cuma soal selera—tapi juga tentang siapa diri kita.
Dari Kyoto ke Feed Instagram
Dulu, matcha dikenal sebagai minuman sakral dalam budaya teh Jepang. Disajikan dalam ritual hening dan penuh makna. Tapi hari ini, matcha tampil di cangkir-cangkir trendi dari Berlin sampai Cape Town—dengan susu oat, busa kelapa, bahkan taburan glitter. Dari meditatif jadi mendunia, dari sakral jadi sosial media.
Kenapa bisa secepat itu? Karena matcha bicara soal hal-hal yang dicintai generasi sekarang: sadar kesehatan, alami, dan… sangat Instagramable. Warna hijaunya mencolok, teksturnya lembut, dan tampilannya selalu mencuri perhatian. Plus, efek kafeinnya juga lebih halus dari kopi, membuatnya terasa "clean" di badan.
Matcha juga sangat fleksibel: bisa jadi es latte, dicampur soda jadi spritz, bahkan dibuat es krim. Tak heran kalau hari ini, matcha bukan sekadar alternatif kopi — tapi genre baru dalam dunia minuman.
Kopi Dingin: Dari Fungsional ke Fashionable
Kopi dingin bukan lagi “sisa” kopi panas yang dicemplungin es. Ini sudah jadi karya seni. Cold brew muncul sebagai revolusi: kopi diseduh dingin selama berjam-jam, hasilnya lembut, tidak asam, dan siap dieksplorasi.
Lalu lahirlah varian-varian nyeleneh: cold brew dengan jeruk parut, sirup lavender, bahkan air tonik. Dan sekarang, espresso tonic jadi primadona. Rasanya pahit, segar, dan penuh karakter. Disajikan dalam gelas transparan, kadang dihias rosemary, atau diselingi es batu bergamot. Setiap kota punya versinya sendiri.
Alternatif susu juga ikut membentuk tren. Susu oat, kacang polong, hingga pistachio bukan cuma soal vegan, tapi juga soal rasa. Hasil akhirnya? Minuman yang creamy, kompleks, dan sering kali terasa seperti dessert.
Minuman yang Bersuara
Musim panas 2025 memperlihatkan bahwa minuman dingin sudah jadi bahasa visual dan sosial. Di Berlin, eksperimen jadi kunci — mulai dari rhubarb kombucha sampai cold brew dengan arang aktif. Di Istanbul, kopi tradisional seperti mırra dihidangkan dengan es dan aroma hurma. Di Tokyo, bar matcha tetap setia pada presisi dan estetika minimalis, menyajikan lapisan teh hijau dan susu dalam kesempurnaan visual. Sementara di Los Angeles, minuman adalah aksesori gaya hidup: matcha dengan kolagen, chai dengan jamur adaptogenik, dan semuanya harus berbasis tumbuhan.
Meski tiap kota bicara dengan aksen sendiri, satu hal yang jelas: kita sedang menyaksikan bahasa minuman global.
Ketika Algoritma Menentukan Selera
Di era media sosial, minuman dingin bukan lagi soal rasa doang. Ini tentang estetika. Tentang bagaimana susu menyatu perlahan dengan teh hijau dalam slow motion. Tentang lapisan warna yang sempurna. Tentang es batu yang meleleh dengan anggun.
Tagar seperti #IcedCoffeeAesthetic dan #MatchaMood bukan cuma tren—mereka adalah budaya. Kafe tak lagi cuma merancang menu berdasarkan rasa, tapi juga fotogenisitas. Gelas transparan, topping rapi, warna mencolok—semuanya dipilih agar “masuk frame” dengan indah.
Kita minum bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk kamera. Dan kamera itu, lewat algoritma, akan menentukan siapa yang “dilihat”.
Lebih dari Sekadar Haus
Hari-hari panas butuh pelepas dahaga. Tapi sekarang, minuman dingin adalah lebih dari itu. Ia adalah simbol identitas. Ia adalah ekspresi. Ia adalah bagian dari narasi harian yang kita bangun — lewat foto, cerita, dan pilihan kecil seperti apa yang kita minum pagi ini.
Espresso tonic dengan gül şurubu, matcha kolagen, atau lapisan teh dan susu oat yang tampak seperti lukisan? Semua menyampaikan hal yang sama: keinginan untuk jadi unik, sadar, dan hadir dalam percakapan dunia.(Dailysabah)
(ACF)