Menyimpulkan Penyakit dari Internet alias Self-diagnosis, Bahayakah? 

Sobih AW Adnan - Psikologi Remaja Kesehatan 12/01/2020
Photo by National Cancer Institute on Unsplash
Photo by National Cancer Institute on Unsplash

Oase.id- Ketika menggunakan mesin pencari internet, semisal Google, apa sih yang biasanya kita cari: Pelajaran di kelas, informasi selebriti, atau masalah kesehatan?

Sebuah survey yang dilakukan di Amerika Serikat (AS) pada 2010 menunjukkan bahwa 88% orang dewasa pengguna internet memanfaatkan mesin pencari untuk mendapatkan informasi kesehatan.

Bagaimana dengan remaja? Penelitian lainnya mengungkapkan, sebesar 84% remaja juga menggunakan internet untuk mendapatkan keterangan seputar kesehatan. Sementara 33% di antaranya secara spesifik mencari informasi tentang gejala penyakit dan diagnosa.

Artinya, serupa orang dewasa, remaja juga cenderung memiliki kebutuhan terhadap informasi kesehatan.

 

Konsultasi instan

Di sisi lain, internet memang kerap dijadikan solusi instan untuk memecahkan berbagai permasalahan dan pertanyaan yang dihadapi. Makin banyaknya platform yang menyediakan informasi kesehatan dan konsultasi gratis, menjadikan internet layak mendapat gelar "pertolongan pertama" versi milennial.

Motivasinya, ketimbang buru-buru mengeluarkan uang hanya untuk membayar konsultasi langsung dengan dokter, lebih baik mengecek informasi dan pengetahuan seputar yang dikeluhkan terlebih dahulu melalui seabrek konten yang tersedia di jagat maya.

Solusi baru yang praktis ini membuat beberapa di antara kita membangun kebiasaan untuk mendiagnosa diri sendiri atau self-diagnosis. Pertanyaannya, bolehkah?

Sebelum era internet, sebenarnya kebiasaan mendiagnosa diri biasa dilakukan banyak orang ketika merasakan gejala-gejala ringan yang sudah familier, seperti flu, batuk dan masuk angin. Self-diagnosis seperti ini dilakukan dengan mengandalkan pengalaman atau informasi dari orang lain untuk menyimpulkan sakit yang dirasakan.

Setelah kehadiran internet, gejala-gejala baru pun bisa teridentifikasi penyebab atau jenis penyakitnya hanya dengan bermodal jari dan paket data. Pengetahuan ini membuat beberapa orang secara refleks menegakkan diagnosa atas keluhannya sendiri, baik yang berkaitan dengan penyakit fisik, maupun gangguan psikologis. 

Dampak negatif yang utama dari self-diagnosis adalah besarnya potensi kesalahan dalam mendiagnosa. Bayangkan, bila seseorang dengan cepat mendiagnosa benjolan di leher sebagai tumor, atau kebiasaan sulit tidur di malam hari sebagai gangguan depresi?

Tentunya, diagnosa yang tidak mendasar cuma akan memunculkan kepanikan dan rasa cemas yang berlebihan. Lebih-lebih, jika kita keburu mengambil tindakan untuk menangani hasil self-diagnosis tersebut dengan mencari obat yang disebutkan dalam informasi yang didapat, namun tanpa anjuran langsung dokter.

Ingat, mengkonsumsi obat yang salah justru akan memperburuk kondisi atau memunculkan permasalahan yang seharusnya tidak ada.

 

Cemas berlebih

Beberapa tahun belakangan, banyak penelitian dilakukan untuk menjelaskan suatu kondisi psikologis yang diidentifikasi setelah kemunculan internet. Kondisi psikologis ini dikenal dengan cyberchondria.

Cyberchondria adalah kondisi ketika seseorang secara eksesif atau berlebihan mencari informasi mengenai gejala suatu penyakit maupun gangguan melalui internet. Orang dengan jenis ini juga meyakini bahwa dirinya mengidap penyakit atau gangguan tersebut.

Para ahli menggambarkan adanya kecemasan yang besar pada orang-orang jenis seperti itu yang disebabkan oleh informasi kesehatan yang telah diterimanya.

Polanya, dimulai ketika seseorang merasakan suatu gejala, kemudian mencari tahu informasi tersebut di internet. Setelah informasi diperoleh, dia langsung menggap hal itu sebagai permasalahan yang dihadapinya. 

Lantas, keyakinan itu kembali memunculkan kecemasan yang mendorong seseorang untuk melanjutkan pencarian informasi di internet. Aktivitas pencarian yang terus menerus dilakukan demi mempertegas kecemasan yang ada hingga tanpa sadar malah membentuk siklus kecemasan yang tidak terputus.

Dan ternyata, memiliki informasi yang banyak juga bisa membawa dampak negatif, ya?! Terutama, jika kita tidak bijak dalam mengelola dan menggunakannya.

Mudah dan murahnya informasi saat ini perlu diimbangi dengan filter diri agar tidak dengan cepat mengeneralisasi. Yang perlu diingat lagi, memang, informasi dari internet bisa membantu kita dalam menjaga kesehatan dan mendeteksi kondisi medis tertentu sedini mungkin, akan tetapi kita juga harus menyadari adanya keterbatasan pengetahuan dan kemampuan diri untuk menegakkan diagnosa.

Karena, “merasa sakit” sama berbahayanya dengan sakit yang sebenarnya. 

 

Tips menghindari dampak buruk self-diagnosis

Berikut adalah beberapa langkah yang dapat dilakukan agar terhindar dari kecenderungan self-diagnosis;

  • Sering-seringlah mencari informasi kesehatan yang lebih positif dan bersifat promosi dari pada kurasi. Misalnya, mencari informasi gaya hidup sehat, makanan sehat, dan sejenisnya.

 

  • Jika mengalami gejala tertentu dan ingin mencari informasinya di internet, batasi informasi yang dicari dan berhati-hati dalam mencari kesamanaan antara penjelasan yang ditemukan dengan kondisi kita yang sebenarnya. Ada baiknya mengajak diskusi teman atau keluarga tentang konten informasi yang didapatkan.

 

  • Ketahui kapan harus berhenti mencari. Kita harus lebih aware terhadap aktivitas berselancar di internet. Kemudahan mendapat informasi tambahan dengan sekali "klik" dapat membuat kita secara terus menerus mencari informasi yang sama. Adanya kesadaran bahwa kita sudah menyelami informasi ini terlalu lama di internet bisa memaksa diri kita untuk berhenti. Ini adalah alarm untuk segera mengkonsultasikan gejala yang kita alami ke pihak yang professional secara langsung. 

 

Rubrik ini diampu Psikolog Remaja Muharini Aulia (@auliyarini). Pertanyaan lebih lanjut bisa dilakukan dengan mengubungi redaksi Oase.id 


(SBH)