Mencapai Aktualisasi Diri dengan Memberi

Muharini Aulia - Psikologi Remaja 16/05/2020
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Oase.id- Bulan Ramadan memiliki banyak nama, satu di antaranya adalah Syahrul Judd atau bulan kemurahan. 

Nama ini menekankan pentingnya bermurah hati untuk memberi dan berbagi di bulan suci. Melekatnya sifat murah hati, membuat Ramadan identik dengan berbagai bentuk aktivitas berbagi. 

Bagi para milenial, wujud berbagi dikemas dalam aktivitas seru seperti sahur on the road (SOTR), bakti sosial, dan lain sebagainya. Adanya ujian pandemi yang menemani Ramadan kali ini makin memacu semangat berbagi dengan cara dan media yang lebih beragam. 

Belakangan, kita cukup sering mendengar berita tentang keluarga yang menyediakan paket sembako dan menggantungnya di pagar rumah agar dapat diambil oleh siapa pun yang membutuhkan. Atau anak kecil yang memecahkan celengannya, kemudian menggunakan uangnya untuk membeli alat pelindung diri (APD) dan memberikannya pada tenaga medis. 

Kalangan pemuda juga turut serta menjadi sukarelawan dalam memenuhi desakan berbagai kebutuhan guna mengatasi situasi ini. 

Baca: Manfaat Puasa untuk Kesehatan Mental

 

Pemberi, juga penerima

Fenomena berbagi selalu menjadi cerita menarik dan angin segar yang dapat memunculkan rasa aman dan nyaman bagi siapa pun yang menyaksikannya. Tak perlu menjadi orang yang memberi, mendengarkan beritanya saja sudah membuat kita merasa bahagia. 

Direktur Center for Philanthropic Studies at the Vrije Universiteit Amsterdam, Prof. Bekkers dan rekannya, Wiepking mengidentifikasi 8 mekanisme yang berpotensi menjadi motivasi bagi seseorang untuk berdonasi.

Yakni, kesadaran akan kebutuhan, permintaan, untung rugi, altruisme, reputasi, manfaat psikologis, nilai dan efficacy (keyakinan akan kemampuan untuk memberikan manfaat). 

Seseorang dapat memiliki lebih dari satu motif (multiple motives) yang mendasari tindakan ia memberi. 

Beberapa motif di atas menegaskan bahwa dampak dari aktivitas memberi tidak hanya bersifat satu arah. Dengan kata lain, bukan hanya penerima yang dapat merasakan manfaatnya. 

Banyak penelitian menunjukkan manfaat psikologis yang dapat dirasakan para pemberi. Beberapa label disematkan pada sensasi psikologis yang hadir dalam aktivitas memberi seperti ‘’emphatic joy’’ atau “warm glow’’. 

Tanpa perlu didefinisikan, masing-masing dari kita pasti memiliki gambaran emphatic joy yang didapat dari pengalaman memberi. Tidak sedikit pula yang merasakan emosi positif disertai perubahan suasana hati ke arah yang lebih baik setelah memberi. 

Memberi juga memunculkan keyakinan bahwa kita dapat membawa manfaat bagi orang lain. Selain itu, terdapat paradoks indah yang menyertai proses memberi. 

Coba ingat-ingat momen memberi yang pernah kita lakukan selama hidup. Bagaimana kita bisa menjelaskan perasaan menjadi cukup dan terpenuhi yang muncul dari aktivitas melepaskan dan memberi? 

Untuk memahaminya, kita perlu beranjak ke titik awal dan menelaah konsep memberi yang pernah diterima ketika masih berada di bangku sekolah.

Selama ini kita mempelajari bahwa memberi lebih baik ketimbang menerima. Mungkin, ini adalah pengkondisian yang diberlakukan untuk meningkatkan perilaku memberi. 

Kita didorong untuk memiliki preferensi dalam memberi. Bukannya hal tersebut tidak baik, namun pola pikir ini dapat membuat kita secara tidak sadar menempatkan “pemberi” di level yang lebih tinggi dari pada “penerima”. Tanpa kita sadari, pola ini berpotensi memunculkan kebanggaan pada diri sendiri dan perasaan lebih baik daripada orang lain saat memberi. 

Padahal, jika dilihat secara lebih dekat, kenyataan adanya dampak psikologis yang dirasakan oleh pemberi, membuat seseorang yang memberi secara bersamaan menjadi seorang penerima. 

 

Psikolog Jerman Erich Fromm menjelaskan, dalam proses memberi, seseorang sebenarnya telah menyerahkan kekuatan pada orang yang menerima untuk menjadi pemberi. 

Contoh sederhananya, saat kita memberi makan pada anak yatim sehingga kebutuhan dasar mereka terpenuhi, di saat yang bersamaan mereka memberikan kedamaian dan rasa cukup dalam diri kita saat melakukannya. 

Dalam satu waktu, kita dan mereka telah membagi dan melengkapi sesuatu. Dengan konsep ini, kita dapat memaknai proses memberi sebagai sebuah upaya mencapai keseimbangan. 

Kita melepaskan sesuatu yang berlebih dalam diri sehingga menyediakan ruang untuk menerima yang kita butuhkan. Mereka pun menerima sesuatu untuk melengkapi diri mereka, dan menjadi kuat untuk memancarkan energi kebaikan. 

Pada akhirnya, kita memahami bahwa memberi bukan tentang menjadi lebih baik dari pada yang lain, namun tentang menjadi lebih baik bersama-sama. 

Dengan formulasi ini, memberi tidak akan memiskinkan atau melemahkan seseorang. Bahkan dengan pemahaman yang lebih mendalam, memberi dapat mengoptimalisasi fungsi diri kita. 

Saat memberi dengan mengajar, misalnya, kita lakukan dalam rangka meningkatkan pemahaman. Kala memberi dengan mencontohkan, kita semakin menguasai praktiknya. Ketika memberi dengan materi, berarti kita membersihkan dan mengamankan harta yang lainnya. 

Baca: Yuk! Patuhi Imbauan Social Distancing, Ini Manfaatnya Secara Psikologis

 

Aktualisasi diri

Memberi secara tidak langsung menstimulasi kita untuk memberdayakan diri dan menjalani hidup dengan penuh. Namun, pola ini dapat terbentuk bila kita memegang teguh prinsip keutuhan dalam memberi. 

Jangan hanya seadanya, apalagi memanfaatkan sisa untuk dijadikan pemberian. Jangan juga menghitung dampaknya, agar energi kita dapat sepenuhnya difokuskan untuk berupaya mencapai keutuhan dalam memberi. 

Dengan keutuhan dalam memberi, secara tidak langsung kita mencukupkan kebutuhan dasar, mencukupkan rasa aman dan nyaman dalam diri kita, sehingga kita siap berproses di puncak hirarki kebutuhan manusia, yaitu untuk mencapai aktualisasi diri. 

Mencukupkan kebutuhan bukan berarti sebuah pengabaian pada kebutuhan itu sendiri. Memberi dengan utuh bukan berarti mengorbankan semua yang kita miliki hingga kita mengabaikan kebutuhan dasar kita. 

‘’Mencukupkan” bermakna tidak berlebihan menikmati pemenuhan satu kebutuhan hingga kita terlena dan enggan beranjak memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Mencukupkan, lebih berarti mengambil kontrol atas diri kita sehingga kita tidak menjadi budak dari kebutuhan dalam diri. 

Artinya, kita beranjak dari pasivitas menuju aktivitas. Contohnya, ketika kita memilih menjadi volunteer sekolah gratis alih-alih memanfaatkan waktu di akhir minggu untuk mengambil pekerjaan tambahan yang berbayar. 

Aktivitas memberi waktu dan ilmu ini membuat kita mencukupkan kebutuhan akan rasa aman secara finansial. Kecukupan ini membuat kita memberi dengan utuh dan bukannya memberi apa yang tersisa. 

Dalam proses ini, kita telah membebaskan diri dari desakan pemenuhan kebutuhan dan berkesempatan mencapai potensi tertinggi yang dimiliki. 

Setelah sampai pada pemaknaan memberi yang lebih dari sekadar penghibur hati, sekarang waktunya kita mengambil peran untuk mencapai sebuah keseimbangan dalam hidup. 

Sempurnakan juga cara kita memberi sehingga membawa kita pada kesempatan mencapai aktualisasi diri.

Selamat menikmati prosesnya!

 

Rubrik ini diampu Psikolog Remaja Muharini Aulia (@auliyarini). Pertanyaan lebih lanjut bisa dilakukan dengan mengubungi redaksi Oase.id 


(SBH)