Mengapa Tiktok Makin Digemari? Ini Alasan dan Dampaknya Secara Psikologis

Sobih AW Adnan - Psikologi Remaja 21/02/2020
Photo by Kon Karampelas on Unsplash
Photo by Kon Karampelas on Unsplash

“Entah apa yang merasukimu… hingga kau tega menghianatiku, yang tulus mencintaimu…” 

 

Adakah yang membaca kalimat di atas sembari berdendang dan refleks membuat gerakan-gerakan tangan? Ya, itu adalah penggalan lirik dangdut yang belakangan ini viral berkat aplikasi Tiktok. Tembang berjudul “Salah apa?/Entah apa yang merasukimu” ini kerap digunakan sebagai latar musik dalam video pendek yang diproduksi dan disebarkan di aplikasi tersebut.

Short-form mobile video application “Tiktok” memang cukup menarik perhatian netizen beberapa tahun belakangan. Aplikasi yang berasal dari Tiongkok yang dikembangkan sejak 2016 ini berhasil menjadi destinasi prominen kebanyakan warganet di seluruh dunia ketika ingin memproduksi video pendek dan menyebarkannya. 

Bahkan, Tiktok termasuk dalam Top 4 most downloaded social application. Sebagian besar pengguna dan penikmatnya adalah anak muda, dengan proporsi tertinggi berusia di bawah 30 tahun. 

 

Kecenderungan era media baru

Pertanyannya, kenapa anak muda cenderung tertarik untuk menggunakan dan menikmati aplikasi Tiktok?  Untuk menjawab pertanyaan itu, bolehlah dirangkai dengan pertanyaan awal, mengapa pengguna media sosial sering kali dikenal sebagai user, bukan audience atau penonton?

Penjelasannya, terletak pada telah bergesernya fokus relasi antara penyedia layanan (communicator) dengan pengguna layanan.

Di era media baru, user telah menjadi sentral dari relasi tersebut. Pengguna tidak lagi bersifat pasif, namun justru diberikan kontrol untuk memproduksi dan menyebarkan konten. 

Tiktok menggunakan konsep relasi ini dalam pendekatannya kepada user. Selain itu, aplikasi tersebut juga berusaha memfasilitasi user untuk dapat bebas berekspresi senyaman mungkin. 

Kontrol dan kebebasan bereskpresi merupakan dua variabel yang dipuja kalangan anak muda. Hal ini dikarenakan keduanya identik dengan kemandirian dan kedewasaan. 

Kehadiran Tiktok menjadi jalan pintas bagi para remaja untuk mengambil kontrol penuh dan mengekspresikan diri sebebas-bebasnya. Belum lagi, iming-iming bonus mencapai ketenaran dan menjadi micro-selebrities membuat banyak orang  berekspektasi akan pengakuan yang diberikan pengguna lain atas aksi yang dilakukan. 

Sebuah studi kualitatif juga pernah merumuskan beberapa alasan yang melatar-belakangi penggunaan aplikasi Tiktok. Dalam riset itu ditemukan, alasan paling populernya adalah untuk mengatasi rasa bosan dan menghibur diri. 

Temuan lainnya lebih berkaitan dengan upaya mengasah bakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian pengguna Tiktok memiliki kebisaan dalam menari, mengedit video, atau pun mengkonsep skenario. Kehadiran Tiktok dapat menjadi media untuk mengasah kemampuan dan berpeluang menunjukkannya kepada dunia. 

Faktor berikutnya, karena adanya rekomendasi dari teman. Sebagai remaja, tentunya pertemanan dan kelompok memiliki peran yang sangat signifikan dalam pemenuhan identitas diri. Remaja terbiasa berkelompok dan mengerjakan berbagai hal bersama-sama. Penawaran Tiktok untuk konten video yang dibuat bersama, cukup koheren dengan kebiasaan tersebut. 

 

Keunggulan dance content

Lantas, mengapa di antara sekian banyak alternatif konten video, banyak warganet cenderung tertarik dengan dance content (konten tarian)? 

Silakan scroll down aplikasi Tiktok-mu, dan temukan fakta bahwa sebagian besar konten dipenuhi dengan aksi menari atau membuat gerakan tertentu sebagai ekspresi terhadap musik yang mengiringinya.

 

Baca: Menyimpulkan Penyakit dari Internet alias Self-diagnosis, Bahayakah? 

 Jawabannya, cukup sederhana. Yakni, karena tarian merupakan aktivitas rekreasi yang dapat membantu seseorang mengatasi rasa bosan. Motif di balik aktivitas menari adalah upaya meningkatkan mood. Apalagi jika koreografi yang ditampilkan tidak rumit dan dikemas dalam durasi yang cukup pendek.

 

Kontrol diri dan pengawasan

Untuk sementara, memang banyak manfaat yang bisa didapatkan dalam menggunakan aplikasi ini. Latar belakang yang muncul dalam kecenderungan minat yang besar terhadap Tiktok pun banyak dilandasi alasan psikologis. 

Akan tetapi, apakah itu berarti kita boleh terus menerus menggunakannya? Hold your phone, guys! Simak dulu penjelasan berikut, tepatnya tentang beberapa dampak yang memungkinkan muncul saat menggunakan Tiktok. Tujuannya, agar kita bisa lebih bijak dalam menggunakannya. 

Lagi-lagi, Tiktok bisa diposisikan sebagai media bagi seseorang untuk mengasah dan menunjukkan bakat yang dimiliki. Tiktok, juga membuka peluang bagi siapa saja untuk menjadi terkenal.

Studi lainnya menggaris-bawahi dampak positif Tiktok secara psikologis. Pengkondisian yang diberikan untuk menunjukkan diri dan tidak perlu malu mengekspresikannya, secara tidak langsung bisa  meningkatkan kepercayaan diri untuk tampil. 

Feedback positif dari pengguna yang lain dapat menjadi penguatan positif (reinforcement positive) yang makin mengukuhkan keyakinan atas diri sendiri. Namun probabilitas seseorang dalam memperoleh feedback negatif juga sama besarnya dengan yang bernilai positif. 

Pada fase inilah, Tiktok kemudian berpeluang menghadirkan dampak negatif -yang bisa jadi- berkaitan dengan body shaming, racist comment, atau lack of appreciation terhadap karya orang lain. 

 

Untuk itu, penting bagi kita memfilter diri dari berbagai bentuk penilaian. Tidak semua penilaian layak untuk dipertimbangkan, apalagi diinternalisasikan ke dalam diri. 

Tiktok dapat menjadi sebuah kelas mandiri untuk mempelajari dan meniru hal-hal baru yang menarik perhatian. Siapa saja diperkenankan membuat konten dan meniru konten orang lain. 

Beberapa tokoh influencer berhasil menggunakan “kelas” ini sebaik mungkin dengan mencontohkan penggunaan Tiktok untuk mengumpulkan dana sosial atau pun kampanye isu-isu sosial. Tidak sedikit juga para dokter menggunakan media ini untuk menyebarkan informasi yang sesuai dengan profesi mereka. 

Namun, kelas tanpa guru tentunya tetap rentan dengan penyalahgunaan atau kesalahpahaman. Contohnya, video pendek “skull breaker challenge” yang belakangan ini trending dan ternyata berdampak negatif bagi pelakunya.

Sulit bagi kita mengontrol terjadinya aksi mengimitasi challenge tersebut. Ini merupakan contoh dampak negatif lainnya yang perlu diantisipasi semua pengguna. 

Setelah memahami berbagai dampak Tiktok, bolehlah disimpulkan bahwa banyaknya alasan yang dapat melatar-belakangi sebuah perilaku, tidak menjamin kebaikan yang dapat diperoleh darinya. Apalagi, jika  perilaku tersebut dilakukan secara eksesif. 

Kenyataannya, segala sesuatu yang berlebihan selalu bergandengan dengan ketidak-baikan, viral menunjukkan sebuah penyebaran yang terjadi begitu saja, bahkan, terkadang tanpa disertai kesadaran akan alasan dan manfaatnya bagi diri sendiri. 

Untuk itu, penting bagi sekali menjaga self awareness sehingga seseorang tidak hanya mengandalkan refleks dalam berperilaku di media sosial.

 

Rubrik ini diampu Psikolog Remaja Muharini Aulia (@auliyarini). Pertanyaan lebih lanjut bisa dilakukan dengan mengubungi redaksi Oase.id 


(SBH)