Kliwonan, Cara Anak Muda Hidupkan Kembali Pesona Desa

Sobih AW Adnan - Komunitas Anak Muda 07/11/2019
Penampilan Tari Topeng Cirebon dalam acara Kliwonan/Oase.id/Sobih AW Adnan.
Penampilan Tari Topeng Cirebon dalam acara Kliwonan/Oase.id/Sobih AW Adnan.

Oase.id- Lahir bersama, tumbuh bersama. Begitu kata Rabu Pagisyahbana, kala memaparkan prinsip yang dianut dalam Kliwonan.
 
Gerakan seni budaya yang tengah banyak dibicarakan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat ini ia bangun bersama kawan-kawan sebayanya demi menangkal kenakalan remaja atau hal-hal negatif serupa di desa-desa.

Kliwonan adalah sejenis pesta rakyat yang digagas puluhan pemuda penggiat kebudayaan.
 
Sudah puluhan desa yang telah menjadi tuan rumah Kliwonan. Pada hari puncak, pesta rakyat ini menyediakan perpustakaan dan taman baca gratis, kelas menulis, pengelolaan barang daur ulang, dan pelatihan melukis. Malam harinya, banyak ragam kesenian dipentaskan. Mulai dari pengajian agama, pembacaan puisi, drama, dan kreativitas seni lainnya.
 
"Kami gelar setiap bulan, setiap Kliwon. Karena kalender Cirebon mengenal papat lima pancer, Kliwon berada di tengah sebagai simbol kasih," kata Rabu. 

Berdaulat dan mandiri

Bergerak di desa, Rabu menyebut, bukan sekadar latah lantaran belakangan ini nama desa begitu seksi. Tapi menurutnya, yang mengancam sisi kebudayaan di Indonesia hari ini tidak lagi dibatasi status kota dan desa. Di pelosok dusun sekalipun, semangat kebersamaan membangun nyatanya makin surut.
 
"Maka kami menyajikan kegembiraan. Sebab, selama ini hiburan masyarakat hanya didapat dari televisi. Mentok dari pentas dangdut hajatan tetangga," kata Rabu dengan sedikit tertawa.

Kliwonan, kata Rabu, dipastikannya tetap sebagai gerakan mandiri. Segala kebutuhan pentas ditopang secara swadaya.

Teknisnya, semua penggiat yang telibat menyisihkan sedikit rezeki untuk kebutuhan Kliwonan. Sementara, pemerintahan desa yang terpilih menjadi tuan rumah, cukup menyediakan tempat dan penopang lainnya secara suka rela.

 

Pembacaan puisi dalam acara Kliwonan/Oase.id/Sobih AW Adnan
  
Meski begitu, Rabu tak memungkiri ada banyak tawaran dana yang datang. Termasuk dari salah satu dinas di jajaran Pemerintahan Kabupaten Cirebon.
 
"Kami belum terima. Kami cuma menjawab, biarkan kami leluasa memasang pipa, jangan dulu dikucuri air, nanti bisa tenggelam," ujar dia.
 
Dengan semangat kasih dan kebersamaan yang tinggi, Kliwonan terus bergerak. Kecenderungan komunitas dan warga yang terlibat pun makin banyak.
 
"Terakhir, kami selenggarakan di Desa Kaliwedi. Sekarang ini hampir 20 komunitas terlibat," kata Rabu.
 
Selepas Kang Alwy

Ahmad Syubbanuddin Alwi diakui beberapa aktivis Kliwonan sebagai sumber inspirasi. Penyair yang tutup usia pada 3 November 2015 itu dikenal gigih dalam mempromosikan kebudayaan Cirebon.
 
Penggiat Kliwonan Rifqiel Asyiq mengatakan, gerakan kebudayaan yang ia lakukan boleh juga dimaknai sebagai ikhtiar meneruskan perjuangan sastrawan yang karib disapa Kang Alwy tersebut. Kliwonan pun, kata dia, bermula dari obrolan kecil ketika mengenang apa-apa yang sudah dilakukan almarhum semasa hidup.
 
"Selepas Kang Alwy tidak ada, kami khawatir geliat kebudayaan Cirebon jadi lesu," kata Rifqiel.
  
Semangat itu, kata Rifqiel, tampaknya tak sia-sia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya desa yang meminta kehadiran Kliwonan. Padahal, belum segenap setahun agenda itu bergerak.
 
"Akibat keterbatasan yang dimiliki, tentu tidak bisa kami penuhi semuanya," kata dia.

Pentas seni drama di acara Kliwonan/Oase.id/Sobih AW Adnan
 
Rifqiel pun mengaku tidak ingin seolah-olah Kliwonan menjadi satu-satunya rumah untuk merayakan kebudayaan lokal. Ia ingin, Kliwonan bisa menjadi inspirasi lanjutan untuk membangkitkan kegembiraan dan kasih sayang di desa-desa lainnya.
 
"Bukan hanya Kliwonan. Kami harap segera lahir Legian, Wagean, atau apa pun namanya," ujar Rifqiel.
 
Saat suasana sore mulai redup, kemudian lampu-lampu di alun-alun desa dinyalakan. Di situlah Kliwonan pun lekas berbagi kasih dan kegembiraan.


(SBH)