Sifat Bersyukur Kunci Kebahagiaan, Ini Bacaan Agar Qona'ah

N Zaid - Doa Sehari-hari 13/09/2023
Foto: Pixabay
Foto: Pixabay

Oase.id - Keinginan manusia itu tidak ada batasnya dalam urusan dunia. Digambarkan oleh sebuah hadit dari Ibnu 'Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6436)

Hadits ini menggambarkan bahwa manusia meski sudah memiliki harta yang banyak senantiasa ingin mengupayakan lebih banyak lagi, dan kemudian menumpuknya seolah-olah semua itu bisa dinikmatinya. 

"Selama dia hidup, kita dapati orang yang sudah tua renta masih memikirkan harta, harusnya dia sudah santai sudah kaya raya rileks di rumah. Tetapi tidak. Dia masih pusing memikirkan harta. Sudah 70 tahun masih sibuk memikirkan urusan harta, masih marah-marah, masih ngomel-ngomel sana-sini karena urusan harta, padahal dia sudah kaya raya, sehingga dia terkadang tidak merasakan nikmat harta tersebut." 

"Tetapi dia merasakan nikmat ketika melihat harta yang banyak. Melihat harta itu menjadi kenikmatan tersendiri. Sehingga dia hari ini marah, besok pusing, besok stres, tetap saja dia tidak puas-puas mencari harta. Sebagaimana pepatah harta seperti air laut, semakin diminum semakin haus," kata Ust Firanda Andirja dalam kajian yang tayang di Youtube.

Maka itu, menurut Ust Firanda, ketika seseorang mengerti bahwa perburuan harta itu tidak ada ujungnya, maka dia harus memberi batasan. "Dia bilang saya harus pada tahapan tertentu, sisa harta yang saya miliki harus saya infaq-kan di jalan Allah subhanahu wa ta'ala," imbuhnya.

Dan umumnya, orang yang senantiasa mengejar harta dan tidak pernah puas, maka di dalam hatinya terdapat banyak perasaan negatif. Seperti, kesal, sedih, marah, kecewa. Sebab, kerap keinginan untuk mendapatkan harta itu terbentur dengan kenyataan, bahwa ia tidak atau belum bisa menggapainya.

Misal seseorang yang begitu menginginkan memiliki mobil, maka karena besarnya keinginan itu, maka hatinya menjadi susah karena ia belum mendapatkan apa yang ia mau. Padahal, hidupnya bisa berjalan normal saja tanpa memiliki mobil sekali pun, karena ia masih memiliki sepeda motor, misalnya. Atau ketiadaan mobil, masih ada solusi lain seperti menaiki transportasi umum, atau kendaraan sewaan. Bahkan kadang, cara itu lebih hemat dan jauh lebih murah dari pada memiliki mobil sendiri.  

Dalam kehidupan seperti itu, hati tidak tenang dan senantiasa gelisah. Dada terasa sempit. Ada perkataan kebijaksanaan mengingatkan bahwa 'keinginan adalah sumber penderitaan'.

Dalam islam, kita diajarkan untuk menumbuhkan rasa syukur. Menerima keadaan dengan ikhlas bahwa apa yang kita miliki atau tidak miliki hari ini merupakan bagian dari kehendak Allah. Dan tidak bisa langsung dicap sebagai kerugian. Karena bisa jadi kondisi di bawah kecukupan itu justru bagian dari cara Allah menyelamatkan hambanya karena harta pun merupakan ujian yang besar yang bisa melalaikan seseorang dari beribadah atau  melakukan perkara-perkara yang haram.  

Ketika manusia memiliki rasa syukur yang dalam terhadap keadaan dan rejeki yang ia miliki, kehidupan akan lebih nikmat dijalani. Hati terasa lapang. Sebenarnya suasana hati itu lah yang diperlukan setiap orang. Apalah arti memiliki harta dan kemewahan lain, jika hati tetap saja terasa sempit.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan doa agar seseorang diberi kualitas hati yang mengandung sifat qonaah yang tinggi dalam dirinya, sehingga lebih bisa menikmati hidup. 

Doa tersebut:

“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina.” Artinya: Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina.

Dalam tulisan Ust Muhammad Abduh Tuasikal di laman Rumaysho, yang dimaksud dengan “al huda” adalah petunjuk dalam ilmu dan amal. 

"Yang dimaksud “al ‘afaf” adalah dijauhkan dari yang tidak halal dan menahan diri darinya. Yang dimaksud “al ghina” adalah kaya hati, yaitu hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada harta yang ada di tangan orang lain," sebutnya.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina”.” (HR. Muslim no. 2721)

“Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)

Penulis M Nur Ichwan Muslim dalam artikel di Muslim.or.id menyebut bahwa seorang dikatakan beruntung tatkala memperoleh apa yang diinginkan dan disukai serta selamat dari segala yang mendatangkan ketakutan dan kekhawatiran.  

"Dalam hadits di atas rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan keberuntungan dengan tiga hal yaitu keislaman, kecukupan rezeki dan sifat qana’ah, karena dengan ketiganya seorang muslim akan mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat."

"Dengan berislam seorang akan memperoleh keberuntungan karena Islam adalah satu-satunya agama yang diridlai Allah, sumber keberuntungan yang memberikan peluang untuk memperoleh pahala dan keselamatan dari siksa. Demikian pula, dengan rezeki yang mencukupi akan menjaga diri dari meminta-minta, dan dengan adanya sifat qana’ah akan mendorong untuk bersikap ridla, tidak menuntut dan tidak merasa kurang atas rezeki yang diterima."


(ACF)