Beri Kemudahan Orang yang Kesulitan Membayar Utang

N Zaid - Utang-Piutang 06/04/2023
Ilustrasi. Foto Pixabay
Ilustrasi. Foto Pixabay

Oase.id - Masalah utang piutang sering kali menguras emosi. Baik yang berutang atau yang memiliki piutang. Ada kalanya seseorang, karena keadaannya, sulit untuk membayar utangnya sehingga ia hidup dalam kecemasan, sementara yang memiliki piutang sering kali juga harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan haknya, sehingga kesabarannya pun diuji.

Namun, di balik urusan tagih-menagih utang itu, Islam menyodorkan suatu perkara yang perlu dipertimbangkan seseorang muslim, terutama yang memiliki piutang, yakni kemuliaan menangguhkan diri untuk menagih utang.

Ya, dalam Islam, menagih utang pun ada ilmunya. Ada petunjuk adabnya. Pertama yang penting adalah, 'pahala bagi orang yang memberi penangguhan orang yang kesulitan membayar utang', dan bagaimana seharusnya adab dalam menagih utang. Alla subhanahu wa ta'ala mengingatkan hambanya untuk tetap mengedepankan sikap lemah lembut, dan menjauhi sikap kasar dalam menagih utang. Bahkan Allah subhanahu wa ta'ala mengingatkan agar seorang muslim memberi kelapangan kepada orang yang berutang.

Kita perlu tahu apa tuntunan terkait utang-piutang berdasarkan Al-Quran dan hadits Rasulullah shallalahu alaihi wasallam. Berikut di antaranya:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebtu menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699)

Dalam Tuhfatul Ahwadzi (7/261) dijelaskan maksud hadits ini yaitu: “Memberi kemudahan pada orang miskin –baik mukmin maupun kafir- yang memiliki utang, dengan menangguhkan pelunasan utang atau membebaskan sebagian utang atau membebaskan seluruh utangnya.”

Memberi kemudahan bagi yang berutang

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Semoga Allah merahmati seseorang yang bersikap mudah ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih haknya (utangnya).” (HR. Bukhari no. 2076)

Yang dimaksud dengan ‘ketika menagih haknya (utangnya)’ adalah meminta dipenuhi haknya dengan memberi kemudahan tanpa terus mendesak. (Fathul Bari, 6/385)

Dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda"

“Siapa saja yang ingin meminta haknya, hendaklah dia meminta dengan cara yang baik baik pada orang yang mau menunaikan ataupun enggan menunaikannya.” (HR. Ibnu Majah no. 1965. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda untuk orang yang memiliki hak pada orang lain,

“Ambillah hakmu dengan cara yang baik pada orang yang mau menunaikannya ataupun enggan menunaikannya.” (HR. Ibnu Majah no. 1966. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al Azhim, pada tafsir surat Al Baqarah ayat 280)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa memberi tenggang waktu bagi orang yang berada dalam kesulitan untuk melunasi hutang atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapat naungan Allah.” (HR. Muslim no. 3006)

Dari salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –Abul Yasar-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa ingin mendapatkan naungan Allah ‘azza wa jalla, hendaklah dia memberi tenggang waktu bagi orang yang mendapat kesulitan untuk melunasi hutang atau bahkan dia membebaskan utangnya tadi.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Lihatlah pula akhlaq yang mulia dari Abu Qotadah karena beliau pernah mendengar hadits serupa dengan di atas.

Kisah Abu Qotadah

Dulu Abu Qotadah pernah memiliki piutang pada seseorang. Kemudian beliau mendatangi orang tersebut untuk menyelesaikan utang tersebut. Namun ternyata orang tersebut bersembunyi tidak mau menemuinya. Lalu suatu hari, kembali Abu Qotadah mendatanginya, kemudian yang keluar dari rumahnya adalah anak kecil. Abu Qotadah pun menanyakan pada anak tadi mengenai orang yang berutang tadi. Lalu anak tadi menjawab, “Iya, dia ada di rumah sedang makan khoziroh.” Lantas Abu Qotadah pun memanggilnya, “Wahai fulan, keluarlah. Aku dikabari bahwa engkau berada di situ.” Orang tersebut kemudian menemui Abu Qotadah. Abu Qotadah pun berkata padanya, “Mengapa engkau harus bersembunyi dariku?”

Orang tersebut mengatakan, “Sungguh, aku adalah orang yang berada dalam kesulitan dan aku tidak memiliki apa-apa.” Lantas Abu Qotadah pun bertanya, “Apakah betul engkau adalah orang yang kesulitan?” Orang tersebut berkata, “Iya betul.” Lantas dia menangis.

Abu Qotadah pun mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa memberi keringanan pada orang yang berutang padanya atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapatkan naungan ‘Arsy di hari kiamat.”

Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih. (Lihat Musnad Shohabah fil Kutubit Tis’ah dan Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada tafsir surat Al Baqarah ayat 280)

Demikian di antara tuntutan Islam dalam urusan utang-piutang. Agama ini begitu mulia dengan begitu rinci menuntun umatnya, bahkan dalam soal-soal utang-piutang sekalipun. Dan nilai-nilai yang dibawa Islam, sudah barang tentu akan membuat hati siapa pun yang menjalankannya akan lebih tenang, meski berurusan dengan persoalan yang sangat berpotensi menguras emosi. 

Dengan dalil-dalil di atas, orang akan merasa lebih ringan dalam membantu sesama yang membutuhkan, karena sisi akhirat yang ternyata lebih menjanjikan keuntungan di banding jika soal utang-piutang diukur dan dipandang hanya secara materialistik.


(ACF)