Marak Aksi Klitih di Yogyakarta, Begini Islam Memandangnya

Fera Rahmatun Nazilah - Fenomena 05/02/2020
Sejumlah warganet melakukan aksi Jogja Damai 9119 di Halaman Kantor Gubernur DI Yogyakarta. (Foto: ANTARA/Andreas Fitri Atmoko)
Sejumlah warganet melakukan aksi Jogja Damai 9119 di Halaman Kantor Gubernur DI Yogyakarta. (Foto: ANTARA/Andreas Fitri Atmoko)

Oase.id- Fenomena klitih mulai marak terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Bahkan, tanda pagar (tagar) #klitih dan #DIYdaruratklitih sempat trending di media sosial Twitter.

Klitih merupakan aksi perundungan antarkelompok geng anak muda di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya. Pelaku biasanya merupakan anak sekolah atau remaja berusia 14-19 tahun.

Pada umumnya, pelaku klitih mengincar target siswa pesaing di tempat sepi, kemudian melakukan perudungan fisik kepada korban menggunakan senjata tajam. Malahan, sesekali pelaku juga mengambil harta dan menghilangkan nyawa korban.

S. A. Mangunsuwito dalam Kamus Bahasa Jawa: Jawa-Indonesia (2002) menjelaskan, klithih tidak berdiri tunggal, tetapi merupakan kata ulang dari klithah-klithih. Artinya, berjalan bolak-balik agak kebingungan. 

Akan tetapi, klitih juga banyak yang mengartikan sebagai kegiatan mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Hanya saja, istilah ini kemudian mengalami pergeseran makna alias peyorasi menjadi aksi kekerasan dengan senjata tajam, atau kegiatan kriminalitas anak di bawah umur di luar kelaziman. 

Pelaku, melakukan aksi ini dengan tujuan mendapat pengakuan dari para pesaingnya.

 

Dalam Islam, kejahatan yang dilakukan di jalanan seringkali disebut qath’ut thariq, yakni perilaku mencegat seseorang yang sedang lewat dengan cara menakut-nakuti.

Syekh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Asy-Syirbini dalam Mugnil Muhtaj menyebutkan, qath’ut thariq adalah pengganggu jalan yang mencuri, membunuh, atau menakut-nakuti dengan kemampuan (kekuatan atau keahlian menggunakan senjata tajam).

Berbeda dengan intihab (pencopetan) yang dilakukan di tempat ramai dan memungkinkan korban untuk meminta tolong, qathut thariq dilakukan di tempat sepi, sehingga korban tidak dapat meminta pertolongan.

Adapun pengganggu jalan yang tidak mencuri dan membunuh, aksi mereka disebut hirabah. Tidak ada had dan kafarat khusus dalam kasus ini. Mereka dijatuhkan hukum penjara (dan lain sebagainya tergantung hukum negara).

Apabila sang pengganggu jalan melukai korban, maka baginya hukum kisas, sesuai dengan perbuatannya. Misalnya orang yang melukai jari korban hingga putus, maka dia dijatuhkan hukum potong jari juga.

Sedangkan pengganggu jalan yang menyertakan aksinya dengan pencurian, (apabila barang curiannya mencapai nishob barang curian), maka ia dihukumi potong tangan kanan dan kaki kiri, sebagaimana firman Allah Swt;

"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar  (QS. Al-Maidah:33).

 

Dalam Tafsir Jalalain karya al-Mahalli dan As-Suyuthi disebutkan, ayat ini diturunkan karena peristiwa yang terjadi antara Rasulullah Saw dan orang Urainah ketika mereka mendatangi Nabi guna mengucapkan syahadat.

Namun, setibanya di Madinah, mereka sakit karena tidak cocok dengan cuaca Madinah. Rasulullah Saw pun mengizinkan mereka untuk minum susu dan air kencing unta milik Nabi (di masa itu air susu dan kencing unta merupakan obat).

Tak disangka-sangka, setelah sembuh mereka justru membunuh sang penggembala unta yang dipekerjakan Nabi. Tak berhenti di situ, mereka juga mencuri unta-unta milik Rasulullah Saw. 

Beliau kemudian memerintahkan para sahabat untuk menangkap dan menghukum mereka. 

Lebih lanjut Imam al-Mahalli dan As-Suyuthi membagi hukum ini menjadi empat ketentuan. Pertama, pengganggu jalan yang membunuh dengan sengaja (tanpa mencuri), ia dijatuhkan hukuman mati (kisas).

Kedua, pengganggu jalan yang membunuh sekaligus mengambil harta korban (yang mencapai nisab barang curian). Ia dihukum mati dan disalib. 

Ketiga, pengganggu jalan yang merampas harta tanpa membunuh. Ia dijatuhkan hukum potong tangan (apabila harta yang dicuri mencapai nisab barang curian).

Keempat, pengganggu jalan yang hanya menakut-nakuti, tanpa mencuri dan membunuh, hukuman bagi mereka adalah diasingkan. Ketentuan-ketentuan ini sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas dan Imam Syafii, begitu pula jumhur ulama.

Aksi klitih cenderung masuk dalam kategori qath’ut thoriq. Sebab, pelakunya tidak hanya menakut-nakuti, melainkan juga melukai dengan benda tajam. Bahkan ada pula yang menyertakan aksinya dengan pencurian dan menyebabkan korban meninggal.

Di Indonesia, aksi semacam ini sudah diatur dengan tegas dalam KUHP. Para pelaku bisa dijerat pasal berlapis dari Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 354 KUHP tengan penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia,  Pasal 170 jo 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terkait tindak penganiayaan, juga UU 12/1951 atau UU kedaruratan menyusul adanya senjata tajam dalam aksi.

Mereka, bisa diganjar dengan hukuman penjara hingga puluhan tahun.

Dengan maraknya aksi klitih, masyarakat sangat berharap pemerintah dan pihak yang berwajib bisa mengurangi kejahatan di jalanan tersebut melalui penerapan undang-undang yang berlaku tanpa pandang bulu. 

 

 

Sumber: Keterangan dari Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhi Al-Minhaj karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Asy-Syirbini serta Tafsir Jalalain karya Al-Mahalli dan As-Suyuthy. 


(SBH)
TAGs: Fenomena