Ini Perbedaan Ghibah, Fitnah, dan Adu Domba

Fera Rahmatun Nazilah - Fenomena 27/08/2020
Photo by PhotoAlto/Sigrid Olsson from Gettyimage
Photo by PhotoAlto/Sigrid Olsson from Gettyimage

Oase.id- Beberapa hari terakhir, film pendek berjudul Tilik ramai diperbincangkan publik. Meskipun disajikan dalam durasi singkat, film ini mampu menggambarkan berbagai fenomena yang begitu kental bagi masyarakat Indonesia, salah satunya adalah kebiasan ghibah.

Pakar Tafsir Indonesia, Prof KH Quraish Shihab dalam Kosakata Keagamaan menuliskan, kata ghibah diambil dari bahasa arab غيبة dan berasal dari kata غيب, artinya, sesuatu yang tidak dijangkau mata. Maka dari itu, sesuatu yang tidak terlihat atau tidak hadir disebut gaib.

Kata ghibah selanjutnya diserap ke dalam Bahasa Indonesia dan bermakna, bergunjing, membicarakan keburukan (keaiban) orang lain.

Pengertian ghibah sejatinya telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw.

Dalam sebuah majelis ilmu Rasulullah Saw bertanya, "Tahukah kamu, apakah gibah itu?"

“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu,” jawab para sahabat.

“Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai,” jelas Rasulullah.

“Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?”

“Apabila yang kamu bicarakan itu benar ada padanya, maka kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya” (HR. Muslim)

 

Perbedaan Ghibah, Buhtan,  dan Namimah

Syekh Ibrahim Al-Qathan dalam Taisir At-Tafsir mengutip perkataan Al-Hasan Al-Bashri, bahwasanya menggunjing terbagi menjadi tiga, yakni ghibah, buhtan (dusta) dan namimah (adu domba).

Prof. Quraish Shihab mengemukakan, ghibah adalah menyebut, menulis, atau bahkan memberi isyarat dengan tangan atau mata sekalipun menyangkut hal buruk atau tidak disenangi oleh seseorang yang tidak hadir di hadapan yang menyebut, walaupun yang diungkapkan itu benar.

Jika keburukan yang dibicarkan ternyata tidak benar, maka ia disebut بهتان (buhtaan) yang bermakna kebohongan besar.

Baca juga: White Lies Alias Berbohong untuk Menyenangkan Orang Lain, Bolehkah?

 

Adapun masyarakat Indonesia biasanya menyebut perkataan bohong dengan kata fitnah.

Dalam KBBI, fitnah berarti perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelakkan orang, seperti menodai nama baik dan merugikan kehormatan orang. Sedangkan dalam Bahasa Arab, istilah fitnah justru memiliki makna berbeda.

Berbeda lagi jika ada upaya untuk menimbulkan keretakan hubungan antara satu pihak dengan pihak lainnya, meskipun berita itu benar adanya, perbuatannya disebut namimah (adu domba).

Larangan ghibah dalam Islam

Ghibah adalah dosa dan perbuatan tercela. Allah Swt juga berfirman;

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."(QS. Al-Hujurat: 12)

Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi dalam Ma’alimut Tanziil menyatakan, ayat ini diturunkan karena ada dua orang lelaki yang menggunjing kawan mereka.

Rasulullah Saw bersabda;

"Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk ucapan yang paling dusta, dan janganlah kalian saling mendiamkan, saling mencari kejelekan, saling menipu dalam jual beli, saling mendengki, saling memusuhi dan janganlah saling membelakangi, dan jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR. Bukhari)

Perbuatan ghibah amat tercela, orang yang melakukannya bahkan diumpamakan memakan bangkai saudaranya sendiri. Oleh karena itu, sebagaimana kita enggan memakan bangkai sesama manusia, jauhi pula membicarakan keburukan orang lain di belakangnya.

 

Refrensi: Ma’alimut Tanziil karya Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, Taisir At-Tafsir karya Syekh Ibrahim Al-Qathan, Kosakata Keagamaan karya Quraish Shihab


(SBH)
TAGs: Fenomena