7 Tingkatan Allah Menurunkan Wahyu kepada Nabi Muhammad SAW

Siti Mahmudah - Nabi Muhammad Saw 12/10/2022
Ilustrasi Al Quran (Gambar oleh Fauzan My dari Pixabay)
Ilustrasi Al Quran (Gambar oleh Fauzan My dari Pixabay)

Oase.id Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu dari Allah melalui tujuh tingkatan. Sebagaimana dijelaskan dalam Sirah Nabawiyah menyebutkan beberapa tingkatan wahyu yang diterima Nabi Muhammad ﷺ.

Berikut Oase.id merangkum beberapa tingkatan Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad ﷺ.

1. Wahyu diturunkan dalam bentuk mimpi yang nyata

Cara ini yang digunakan Allah Swt untuk menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad ﷺ sebelum menjadi Rasul. Mimpi ini betul ada sebagaimana pernah dijelaskan dalam hadis Aisyah RA, kali pertama yang diterima Rasulullah adalah mimpi yang nyata, bahwa beliau tidak pernah bermimpi melainkan mimpi tersebut akan terjadi seperti fajar menyingsing.

“Hal pertama yang diterima Rasulullah adalah mimpi yang nyata, yakni bahwa beliau tidak pernah bermimpi melainkan mimpi itu akan terjadi seperti fajar yang pasti menyingsing.” (HR. Bukhari)

2. Wahyu langsung ditiupkan oleh malaikat Jibril ke dalam hati

Cara kedua yaitu wahyu langsung ditiupkan langsung oleh malaikat Jibril ke dalam hati Rasul. Pada kondisi ini, Rasul tidak melihat apa pun, kecuali ia merasa bahwa tiba-tiba sudah ada dalam hatinya.

Menurut beberapa riwayat hadis shahih, Rasul pernah bersabda, “Roh kudus (Jibril) telah meniupkan (wahyu) ke dalam hatiku bahwa sebuah jiwa tidak akan mati sebelum menyempurnakan (menerima) semua rezekinya. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah dan memohonlah yang baik-baik.”

3. Wahyu disampaikan malaikat Jibril dengan menyamar menjadi laki-laki

Wahyu yang disampaikan kepda Rasul, yakni malaikat Jibril menyamar menjadi seorang laki-laki dan mendatangi beliau. Malaikat Jibril mengucapkan serangkaian kalimat hingga beliau paham dan hafal kalimat-kalimatnya. 

4. Wahyu turun berwujud gemerincing lonceng

Cara wahyu ini merupakan yang paling ditakuti Rasul. Mengapa demikian? karena keningnya sampai basah berkeringat kendati hari sangat dingin. Bahkan, binatang yang ditungganginya itu sampai mendekam ke tanah karena saking kedinginannya.

5. Wahyu disampaikan malaikat Jibril dalam wujud asli

Cara wahyu yang disampaikan selanjutnya adalah malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad ﷺ dalam bentuk asli. Cara ini dialami sebanyak dua kali, sebagaimana yang disebutkan dalam surah an-Najm. 

Dalam tafsir surah an-Najm ayat 7 yang diterjemahkan Kemenag RI disebutkan, bahwa Nabi Muhammad ﷺ telah mengetahui bentuk aslinya. Karena itu, Allah menguatkan keterangan bahwa kedatangan malaikat Jibril menyamar dalam bentuk seorang sahabat yang bernama Dihyah al-Kalbi tidaklah menghilangkan ciri-cirinya, karena Nabi Muhammad ﷺ pernah melihat bentuknya yang asli sebelum itu, yaitu di Gua Hira ketika menerima wahyu pertama, walaupun kemudian malaikat Jibril menampakkan diri lagi dengan rupa yang lain.

6. Wahyu disampaikan Allah Swt saat berada di langit

Wahyu ini beliau terima saat melakukan Isra’ Mi’raj dan menerima perintah salat lima waktu. 

Tepatnya di Sidratul Muntaha Nabi Muhammad ﷺ mendapatkan perintah salat 50 kali dalam sehari semalam bagi umatnya. Nabi kemudian turun, tetapi ketika melewati Musa, beliau ditanya tentang jumlah kewajiban salat. Nabi Musa menyebut salat 50 kali terlalu berat, sementara umat Rasulullah lemah.

Namun, setiap kali bertemu Musa, Rasul diingatkan untuk memohon keringanan kembali. Hingga akhirnya, Nabi Muhammad ﷺ mendapatkan kewajiban salat 5 kali sehari semalam.

7. Wahyu langsung disampaikan Allah tanpa perantara malaikat Jibril

Wahyu selanjutnya, yakni langsung disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ tanpa perantara malaikat Jibril, seperti waktu Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa terkait dialog langsung Allah dengan Musa. Adapun penurunan wahyu kepada Nabi Muhammad ﷺ secara langsung seperti terjadi saat beliau melakukan Isra’ Mi’raj. Kemudian setelah itu, Rasul dibawa naik menerima satu tingkatan dan di tempat tersebut Rasul mendengar suara pena.

Sumber: Disarikan dari keterangan dalam Durratun Nashihin karya Umar bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir Al-Khaubawiy


(ACF)