Kisah Rabi'ah al-'Adawiyah al-Bashriyyah, Perempuan Ikon Cinta Tuhan

Siti Mahmudah - Perempuan muslim 27/04/2021
Ilustrasi (Photo by Idina Risk from Pexels)
Ilustrasi (Photo by Idina Risk from Pexels)

Oase.id - Rabi’ah al-‘Adawiyah merupakan perempuan ulama fenomenal. Orang-orang banyak menyebutnya perempuan waliyullah, kekasih Allah. Namanya sering disebut Rabi’ah al-Qaisiyyah dari Basrah, Irak. Ia lahir pada 180 Hijriyah. Ia banyak diingat oleh orang sebagai perempuan ikon cinta Tuhan (al-hubb al-ilaihi).

Para sufi besar menyebutkan dalam karya sastra prosa, puisi, maupun syiar mistis mereka. Rabi’ah ini menjadi tokoh perempuan yang sejarah hidupnya paling banyak ditulis orang. Puisi-puisinya didendangkan di berbagai penjuru tempat. Bahkan, para sufi besar dan sastrawan menjadikannya sebagai idola.

Adapun tokoh yang menulis tentang sejarah hidup Rabi’ah, yakni Abu Amr al-Jahizh, sastrawan besar menuliskan Al-Bayan wa at-Tabyin. Lalu, Abu Tahlib Al-Makki, sufi besar, dalam Qut al-Qulub, buku yang menginspirasi Imam Abu Hamid Al-Ghazali. Ada juga Abu al-Qasim al-Qusyairi, sufi besar, dalam Ar-Risalah al-Qusyairiyah. Kemudian, Abdurrahman as-Sullami, sufi masyhur dalam Dzikr an-Niswah al-Mut’abbidat ash-Shufiyyat, Ibnu Al-Jauzi, muhaddis besar. Selain itu, ada Fariruddin Attar, filsuf penyair, dalam Tadzkirah Al-Auliya dan sebagainya.

Sementara, belakangan ini, Abdurrahman Badawi, filsuf Arab asal Mesir menulis buku berjudul Rabi’ah al-Adawiyah Syahidah al-‘Isyq al-Ilahi (Rabi’ah Adawiyah sang Perempuan Mabuk Rindu Tuhan).

Lain halnya, kisah hidup Rabi’ah tidak hanya didokumentasikan dalam narasi puisi, prosa, dan novel, melainkan difilmkan oleh sutradara Mesir. Film ini diperankan oleh seorang perempuan dan menyenandungkan puisi Rabi’ah. Di antara puisinya berjudul Arafatul Hawa (Aku Mengenal Cinta) dan Uhibbuka Hubbain (Aku mencintaimu dengan Dua Cinta). Keduanya dinyanyikan oleh Kaukab asy-Syarq dan Ummu Kultsum, bintang legendaris dari Timur.

Kisah Hidup Rabi’ah al-‘Adawiyah

Rabi’ah lahir dari keluarga yang sangat miskin dan taat mengabdi kepada Tuhan. Suatu ketika, saat Rabi’ah lahir pada malam hari, rumahnya gelap gulita, tak ada lampu untuk meneranginya. Lantaran, minyak lampunya habis dan untuk membeli minyak tanah saja tidak mampu.

Konon, keluarganya juga tidak mempunyai kain atau popok untuk bayi yang masih merah itu. Ismail, ayah Rabi’ah, terpaksa mengetuk pintu demi pintu rumah tetangganya untuk memperoleh bantuan dan berharap mendapatkan sedikit minyak tanah dan kain. Namun, saat itu, ia pulang dengan tangan kosong, tidak memperoleh benda yang dibutuhkan bayi tersebut.

Meskipun demikian, ia tidak pernah berputus asa dan mengeluh. Ia hanya bisa pasrah atas keberadaannya. Siang dan malam ia selalu berdoa kepada Tuhan agar doa-doa yang dipanjatkan dapat di kabulkan.

Ada satu cerita menarik, konon, saat Rabi’ah masih balita, ia sering merenung seorang diri. Hati dan pikirannya seolah gelisah. Suatu hari, dalam kesempatan makan bersama dengan keluarganya, Rabi’ah diam saja. Ia tidak mau mengambil makanan yang telah disediakan. 

Ayahnya bertanya, “Mengapa kamu tak mau makan, anakku?”

Rabi’ah balik bertanya, “Apakah makanan ini diperoleh dari cara yang halal?”

Sang ayah, ibu, dan kakak-kakaknya terkejut, kaget terperangah. Pertanyaan itu menakjubkan, diucapkan oleh seorang perempuan balita dan amat belia. 

Lalu, sang ayah bertanya, “Mengapa bertanya demikian?”

Rabi’ah menjawab, “Aku lebih baik menderita karena lapar di sini daripada disiksa oleh Tuhan kelak di akhirat.”

Sang ayah menjawab, “Betul anakku, ini ayah dapatkan dari cara yang halal.”

Alhasil, Rabi’ah mau makan. Ia merasa bersyukur dan senang kepada Allah SWT. Bismillahir rahmanir rahim.

Sumber: Buku Perempaun Ulama di Atas Panggung Sejarah karya KH. Husein Muhammad


(ACF)