Keumuman Mengandung Alkohol, Sahkah Salat Setelah Memakai Hand Sanitizer?

Fera Rahmatun Nazilah - Fatwa dan Pendapat Ulama 13/04/2020
Phoro by Jo from Freepik
Phoro by Jo from Freepik

Oase.id- Ancaman persebaran virus korona (Covid-19) menjadikan masyarakat Indonesia kian sadar akan pentingnya kebersihan. Kampanye mencuci tangan secara rutin dengan sabun pun kian marak digerakkan. 

Apabila mencuci tangan dianggap cukup membuat repot, masyarakat dianjurkan boleh menggunakan hand sanitizer sebagai pembersih tangan yang lebih praktis dan higienis.

Lantas bagaimana jika hand sanitizer yang umumnya beralkohol itu dipakai sebelum salat? Sah kah salat seseorang yang terkena kandungan alkohol dalam hand sanitizer?

 

Status alkohol

Kesucian pakaian, badan, dan tempat menjadi syarat sah salat yang harus dipenuhi. Hand sanitizer biasanya mengandung alkohol, sedangkan sebagian orang menganggap alkohol tidak suci karena termasuk zat yang memabukkan. 

Sejak dulu, status alkohol sebenarnya sudah masuk dalam wilayah perdebatan apakah sesuatu yang tergolong najis atau tidak. Sebab, alkohol sering kali dikaitkan dengan khamr (sesuatu yang memabukkan).

Baca: Sahkah Salat dengan Menggunakan Masker?

 

Sebagian ulama hadis menyatakan khamr tidak najis, sedangkan mayoritas ulama fikih memandang khamr najis. Sebagaimana firman Allah Swt

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90)

Akan tetapi, apakah alkohol termasuk khamr?

Soal ini, Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh menyatakan;

“Zat alkohol tidak najis secara syara, berdasarkan kaidah yang telah disebutkan sebelumnya mengenai sesuatu yang suci, baik alkohol murni (bukan campuran) atau yang dikurangi kandungannya dengan campuran air. Sebagai tarjih dari pendapat yang menyatakan bahwa najis khamr dan semua zat yang memabukkan secara maknawi, bukan harfiah, degan pertimbangan bahwa itu kotor dari perbuatan setan.”

Jika ditelaah secara maknawi, khamr yang digolongkan menjadi rijsun (najis) adalah perbuatan meminum khamr yang membuat peminumnya mabuk. Kenajisan khamr itu bukan murni karena zatnya semata, melainkan perbuatan meminum khamr-lah yang dikatakan najis dan termasuk perbuatan setan.

Sedangkan zat alkohol tidak selalu digunakan untuk olahan minuman memabukkan. Melainkan bisa juga dimanfaatkan untuk berbagai kemaslahatan, terutama di bidang kesehatan.

 

Najis yang dima'fu

Dalam Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Imam Asy-Syafi’i disebutkan, khamr dan semua cairan yang memabukkan termasuk najis dalam mazhab Syafi’i.  Akan tetapi, kalau pun sebagian ulama memandang alkohol najis secara zatnya, Imam Syafi'i mengkategorikan alkohol sebagai najis yang dimaafkan jika digunakan untuk kemaslahatan.

Hal itu, sebagaimana keterangan dalam Al-Fiqh ala Madzahib Al-Arba’ah mengenai pendapat Imam Syafii;

“Salah satunya (najis yang dimaafkan) adalah cairan-cairan najis yang dicampurkan dalam obat-obatan dan aroma parfum untuk memberikan maslahat padanya. Ini termasuk (najis) yang dimaafkan untuk sebuah kemaslahatan. Berdasarkan qiyas atas aroma yang memberi efek maslahat pada keju.”

Lebih lanjut Syekh Wahbah Zuhaili menyatakan tidak bermasalah secara syara’ menggunakan alkohol untuk membersih kulit dan luka, membunuh kuman, juga menggunakannya untuk obat dan aroma parfum. Penggunaan ini tidak berkaitan dengan keharaman khamr untuk mabuk.

 

Berdasarkan keterangan tersebut, hukum menggunakan hand sanitizer tanpa membasuhnya dengan air lebih dulu sebelum melaksanakan salat adalah diperbolehkan. Sebab, sebagian ulama menyatakan alkohol tidak najis.

Baca: Memaknai Hadis Tentang Tidak Adanya Penyakit Menular

 

Jika pun ada yang berpendapat alkohol termasuk ke dalam benda cair yang najis, maka itu termasuk najis yang dimaafkan. Artinya, tidak bermasalah jika digunakan sebelum salat.

Terlebih menggunakan hand sanitizer di kondisi saat ini adalah untuk kemaslahatan diri sendiri, yakni membersihkan kuman, bakteri, dan virus yang menempel di tangan, yang sulit jika hanya dihilangkan dengan air biasa.

Sebuah kaidah dalam ushul fiqh menyebutkan; Adh-darurat tubih al-mahzurat. Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang sebelumnya dihukumi haram.

 

Sumber: Disarikan dari penjelasan dalam  Al-Fiqh ala Madzahib Al-Arba’ah karya Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh karya Syekh Wahbah Az-Zuhaili, serta Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Imam Asy-Syafi’i karya Mustada al-Khin, Mustafa Did Al-Bugha, dan Ali Al-Syarbaji.


(SBH)