Kazakhstan Perdebatkan Rencana Tempat Salat di Sekolah

N Zaid - Masjid 02/09/2023
Ilustrasi. Pixabay
Ilustrasi. Pixabay

Oase.id - Di Indonesia kita bisa dengan mudah mendapati musala di area publik, seperti sekolah, kantor bahkan mal. Di Kazakhstan, ternyata kehadiran tempat salat di tempat umum baru tahap rencana. Ini pun memicu perdebatan. 

Dengan dimulainya tahun ajaran baru, diskusi dimulai di masyarakat Kazakh tentang perlunya melengkapi ruang salat di sekolah, tulis Orda.kz. Pendukung rencana itu mengacu pada kebebasan beragama yang ditentukan dalam konstitusi, sementara penentang menunjuk pada sifat sekuler negara. 

Direktur Yayasan Amal HAQ Togzhan Kozhaly mendukung pembuatan musala di lembaga pendidikan. “Laporan Kedutaan Besar AS di Kazakhstan tentang kebebasan beragama di negara kami menyatakan bahwa menurut sensus, 70% penduduk Kazakhstan menganggap diri mereka Muslim. Bahkan jika kita hanya memiliki 10% penganut Islam, jumlahnya sekitar 1,8 juta. Menurut saya, angka ini harus diperhitungkan dalam negara demokratis. Dan kami sedang membangun negara demokratis. Itu hanyalah hak asasi manusia atas kebebasan beragama,” katanya dikutip dari islamnews.ru, Jumat (1/9). 

Menurutnya, terciptanya masyarakat inklusif yang mengutamakan kepentingan semua kelompok masyarakat akan membantu menanamkan toleransi pada anak dan mencegah perundungan di sekolah. 

“Kami memiliki penindasan yang sangat berkembang. Dan fakta bahwa anak-anak terpaksa bersembunyi di sudut dan celah untuk berdoa adalah alasan terjadinya intimidasi. Tidak perlu memaksa umat beragama untuk bersembunyi, namun sebaliknya, ada baiknya menumbuhkan toleransi dalam masyarakat. Sebab, orang yang terpojok menjadi radikal. Dia memiliki efek pegas yang terkompresi,” catat aktivis sosial itu. 

Ia juga menyoroti fakta bahwa kurangnya ruang salat tidak hanya melanggar hak siswa, tetapi juga guru, yang banyak di antaranya beriman. 

“Di sekolah-sekolah Kazakh, khususnya di daerah, banyak guru Muslim. Di sekolah swasta, Anda bisa melihat perempuan berhijab, laki-laki berjanggut. Mereka adalah guru yang sangat baik, progresif, cerdas. Tapi mereka juga terpaksa salat di ruang belakang atau di tempat lain, agar tidak mengganggu siapa pun,” keluh Togzhan Kozhaly. 

Masyarakat mengungkapkan kemarahannya atas kenyataan bahwa bahkan ruangan khusus telah diciptakan untuk perokok di mana mereka dapat memuaskan kebiasaan buruknya, namun tidak ada ruangan terpisah untuk tujuan baik seperti salat. Sebagai contoh negara sekuler yang menghormati kebebasan beragama, aktivis tersebut mencontohkan Turki, di mana musala mulai didirikan di lembaga-lembaga pemerintah pada tahun 2016. Jurnalis Saida Suleeva sangat tidak setuju dengan pendapat tersebut. Ia yakin, mushola di sekolah tidak boleh berbentuk apa pun. 

“Namazkhana tidak diperlukan tidak hanya di sekolah, tetapi juga di lembaga pemerintah, serta di pusat perbelanjaan dan hiburan. Kazakhstan adalah negara sekuler, hal ini tertulis dalam konstitusi. Dan jika kita menghadiri pertemuan satu denominasi, itu berarti kita perlu menghadiri pertemuan semua denominasi lainnya. Dan selain Islam, masyarakat kami menganut Ortodoksi, Katolik, Protestan, dan Budha. Ada sekitar selusin gerakan Kristen saja,” katanya, seraya menekankan bahwa “sekolah, pada prinsipnya, bukanlah tempat untuk beragama.”(islamnews.ru)
 


(ACF)
TAGs: Masjid