Sejarah Perang Dzaturriqa dan Keteladanan Rasulullah dalam Kondisi Perang

N Zaid - Sirah Nabawiyah 14/12/2025
Perang Dzaturriqa. Foto AI Generator
Perang Dzaturriqa. Foto AI Generator

Oase.id - Perang Dzaturriqa’ merupakan salah satu ekspedisi militer yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terjadi setelah Perang Khaibar, sekitar tahun ke-7 Hijriyah. Nama Dzaturriqa’ diambil dari kondisi fisik para sahabat yang mengalami luka dan kelelahan berat selama perjalanan, hingga kaki-kaki mereka harus dibalut dengan perban (riqa’).

Ekspedisi ini dilancarkan untuk menghadapi potensi ancaman dari suku Ghathafan, salah satu kabilah Arab terkuat di wilayah utara Jazirah Arab. Suku Ghathafan berasal dari keturunan Qais ‘Ailan, bagian dari suku Mudlar, dan dikenal memiliki hubungan erat dengan Kekaisaran Romawi Timur. Mereka juga memiliki peran besar dalam berbagai konflik besar, seperti Perang Khandaq dan pengepungan Khaibar.

Sebelum memeluk Islam, Ghathafan adalah penyembah berhala Al-‘Uzza dan dikenal sebagai musuh utama kaum muslimin. Meski dalam Perang Dzaturriqa’ tidak terjadi pertempuran terbuka berskala besar, kehadiran pasukan Nabi sudah cukup membuat Ghathafan gentar dan memilih mundur. Kaum muslimin pun kembali ke Madinah dengan kemenangan moral serta pesan tegas bahwa Madinah selalu siap menghadapi ancaman apa pun.

Waktu Terjadinya Perang Dzaturriqa’

Mayoritas ulama sejarah berpendapat bahwa Perang Dzaturriqa’ terjadi setelah Perang Khaibar. Pendapat ini dikuatkan oleh tokoh-tokoh besar seperti Al-Bukhari, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Hajar.

Salah satu argumen terkuat adalah keterlibatan Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma dalam perang ini. Diketahui bahwa keduanya baru masuk Islam setelah Perang Khaibar. Dengan demikian, tidak mungkin Perang Dzaturriqa’ terjadi sebelumnya.

Shalat Khauf dalam Perang Dzaturriqa’

Dalam Perang Dzaturriqa’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menegakkan shalat, meski dalam kondisi genting dan penuh kewaspadaan. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Nabi melaksanakan shalat khauf bersama para sahabatnya dalam perang ini, yang merupakan peperangan ketujuh yang beliau pimpin.

Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah berangkat menuju Dzaturriqa’ dari daerah Nakhl bersama sekelompok sahabat. Ketika rasa takut mulai muncul di tengah pasukan, Nabi melaksanakan shalat khauf dua rakaat sebagai bentuk keteladanan bahwa ibadah tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi apa pun.

Dalam riwayat lain, Rasulullah membagi para sahabat menjadi dua kelompok. Kelompok pertama shalat bersama Nabi dua rakaat, lalu bergantian dengan kelompok kedua. Dengan cara ini, Nabi menunaikan empat rakaat, sementara setiap sahabat menunaikan dua rakaat, tetap dalam kondisi siaga menghadapi musuh.

Beratnya Perjalanan dan Asal Penamaan Dzaturriqa’

Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menggambarkan beratnya perjalanan perang ini. Ia menceritakan bahwa jumlah pasukan sangat sedikit dan mereka harus bergantian menaiki satu ekor unta. Kaki-kaki mereka terluka, kuku-kuku terlepas, dan akhirnya mereka membalut kaki dengan perban.

Dari kondisi inilah perang ini dinamakan Dzaturriqa’, yakni peperangan yang penuh dengan tambalan dan balutan. Abu Musa sering mengulang kisah ini, namun ia juga menyesal karena khawatir ceritanya justru membuka amal yang seharusnya disembunyikan. Sikap ini mencerminkan tingginya keikhlasan para sahabat dalam beramal.

Peristiwa Ancaman Pedang terhadap Rasulullah

Dalam perjalanan perang, Rasulullah pernah beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Saat itulah datang seorang musyrik bernama Ghawarts bin Al-Harits yang mengambil pedang Nabi dan mengancam beliau.

Dengan penuh ketenangan, orang itu bertanya, “Siapa yang akan melindungimu dariku hari ini?” Rasulullah menjawab dengan keyakinan penuh, “Allah.”

Jawaban ini membuat musyrik tersebut gemetar dan tidak mampu berbuat apa-apa. Para sahabat pun segera mengepungnya. Peristiwa ini menjadi bukti nyata tingginya tawakal Rasulullah kepada Allah dan penggenapan firman-Nya bahwa Allah akan melindungi Rasul-Nya dari kejahatan manusia.

Kisah Penjagaan Malam Ammar dan Abbad

Perang Dzaturriqa’ juga dikenal dengan kisah penjagaan malam yang sarat keteladanan. Dalam suatu malam, Rasulullah menugaskan Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr untuk berjaga demi melindungi kaum muslimin dari serangan mendadak.

Abbad mendapat giliran pertama dan memilih mengisi waktunya dengan shalat malam. Dalam keadaan shalat, ia terkena panah musuh. Ia mencabut panah itu dan melanjutkan shalatnya. Panah kedua dan ketiga kembali menghujam tubuhnya, darah mengalir, namun ia tetap menyempurnakan shalatnya sebelum membangunkan Ammar.

Ketika Ammar melihat kondisi Abbad yang terluka parah, ia bertanya mengapa tidak dibangunkan sejak awal. Abbad menjawab bahwa ia sedang menikmati bacaan Al-Qur’an dan tidak ingin menghentikannya, kecuali karena khawatir tugas penjagaan terabaikan. Kisah ini menunjukkan tingkat kekhusyukan dan kecintaan para sahabat terhadap ibadah.

Kisah Jabir dan Untanya yang Lambat

Di antara kisah humanis dalam Perang Dzaturriqa’ adalah kisah Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu dengan untanya yang lambat. Rasulullah memperhatikan Jabir yang tertinggal dari rombongan, lalu bertanya tentang keadaannya.

Setelah mengetahui bahwa untanya lemah, Rasulullah mendoakannya dan menyentuh unta tersebut. Seketika, unta itu kembali kuat dan mampu berjalan cepat. Nabi kemudian membeli unta tersebut dari Jabir dengan harga satu uqiyah, namun mengizinkannya tetap menunggangi unta itu hingga tiba di Madinah.

Sesampainya di Madinah, Rasulullah bukan hanya membayar harga unta tersebut, tetapi juga mengembalikan unta itu beserta uangnya kepada Jabir. Beliau bersabda bahwa beliau tidak menawar untuk mengambil hak Jabir, melainkan karena rasa iba dan kasih sayang.

Pelajaran Penting dari Perang Dzaturriqa’

Perang Dzaturriqa’ menyimpan banyak pelajaran berharga. Pertama, kewajiban shalat tidak pernah gugur dalam kondisi apa pun, baik aman maupun perang. Kedua, pentingnya shalat berjamaah, bahkan di tengah ancaman musuh.

Ketiga, perang ini menggambarkan kefakiran dan kesederhanaan hidup para sahabat, yang tetap berjuang meski dalam keterbatasan. Keempat, terlihat jelas tingginya tawakal Rasulullah kepada Allah saat menghadapi ancaman langsung.

Kelima, kisah penjagaan malam menunjukkan semangat ibadah, kekhusyukan, dan keikhlasan para sahabat. Keenam, sikap Abu Musa Al-Asy’ari yang enggan menyebarkan amalnya menjadi pelajaran penting tentang menjaga keikhlasan dan menjauhi riya.

Ketujuh dan kedelapan, kisah Jabir dan untanya memperlihatkan ketawadhu’an, kepedulian, serta akhlak mulia Rasulullah dalam bermuamalah dan menunaikan hak orang lain dengan sebaik-baiknya.


(ACF)