Hukum Rajam Sampai Mati Bagi Pelaku Zina Berdasarkan Kesaksian Itu Mustahil

N Zaid - Pergaulan Islam 30/11/2022
Ilustrasi. Pixabay
Ilustrasi. Pixabay

Oase.id - Oleh kalangan Barat dan Islamophobia, Islam digambarkan sebagai agama yang tidak berkeprimanusiaan terkait dengan masalah-masalah penegakan syariat, seperti hukuman rajam hingga mati bagi pezina yang telah menikah (zina muhsan). Apakah hal itu benar? Bagaimana sebenarnya syariat memberi petunjuk kepada umat Islam?

Dalam Islam, hukum rajam ditegakkan kepada mereka yang melakukan hubungan perzinaan padahal sudah menikah. Dikutip dari Almanhaj.or.id, hukum rajam sendiri merupakan hukuman dilempari batu sampai mati. Caranya, orangnya ditanam berdiri di dalam tanah sampai dadanya, lalu dilempari batu sampai mati.

Dalil dari hukuman ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka[2], yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) dera 100 kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera 100 kali dan rajam.(HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi)

Kemudian orang-orang yang tidak menyukai Islam dan mereka yang kurang paham tentang ilmu agama, hanya menelan apa yang nampak seram dari dalil hukum syariat ini, "pezina dilempari batu sampai mati." Berhenti sampai di situ tanpa mengupas lebih dalam lagi praktik sesungguhnya yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tunjukkan terkait aplikasi hukum syariat ini.

Akhirnya disebarkanlah imej Islam yang horor dan menyeramkan, dan kejam, untuk membuat orang lari dari agama yang hak ini. 

Padahal jika ditelaah, begitu banyak bukti syar'i yang sangat jelas sumbernya dan bisa dijadikan rujukan, bahwa Islam sendiri tidak bermudah-mudah untuk menjatuhkan hukum rajam pada seseorang. Bahkan boleh dibilang, sedapat mungkin menghindari jatuhnya hukum tersebut kepada seseorang.

Salah satu buktinya adalah kisah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang ditemui seorang wanita hamil yang meminta disucikan, atau dihukum rajam karena ia pernah berbuat zina. Nabi shallallahu alaihi wasallam memintanya untuk pulang dan melahirkan anak lebih dulu. Kemudian setelah anak itu lahir, wanita itu datang kembali kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan Beliau shallallahu alaihi wasallam memintanya untuk menyusui anaknya terlebih dulu selama dua tahun. 

Artinya, Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak ingin begitu saja menjatuhkan hukum rajam kepada wanita tersebut. 

Pedakwah Ustaz Khalid Basallamah dalam salah satu majelis mengatakan bahwa para ulama menafsirkan bahwa bisa saja, setelah perempuan itu melahirkan  hukum hadd sudah bisa ditegakkan kepadanya.  

Dalam laman Muslim.or.id, disebutkan di dalam ajaran Islam, terdapat hukuman ḥadd untuk kasus perbuatan dosa tertentu seperti zina atau mencuri. Di antara hukuman ḥadd bagi pelaku zina yang sudah menikah (mukhsan) adalah dirajam sampai mati.

"Di sini kata ulama hadits, Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan lagi kesempatan untuk taubat. 'sudah lah pulang taubat tidak usah lagi datang," papar Ustaz Khalid.

Setelah dua tahun menyusui wanita itu kembali datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan meninta 'disucikan' (dihukum rajam). Akhirnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegakkan hukum rajam pada wanita itu. Pada saat hukuman rajam dilakukan, seorang sahabat melampari batu dan melaknat wanita itu, Rasulullah pun bersabda. 

"Jangan kau laknat dia karena dia telah bertaubat. Kalau taubatnya dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, maka akan cukup buat mereka." 

Ustaz Khalid kembali menguraikan kisah lain. Ada seorang yang sedang dihukum rajam, dan karena kesakitan orang itu lari. Seorang sahabat pun mengejar dan memukulnya dengan batu besar sehingga orang itu mati. Melihat itu, Nabi pun mengatakan "Tidak kah kalian membiarkan saja dia pergi."

"Karena sebenarnya hukum hadd kan untuk memberi efek jera. Kalau tobat bisa, tidak ada masalah," kata Ustaz Khalid. 

Pun terkait menuduh orang melakukan zina. Islam memberi syarat yang begitu ketat dan sangat hati-hati menjatuhkan vonis zina terhadap seseorang, sehingga penegakkan hukum rajam terhadap seseorang akibat persaksian seseorang, nyaris mustahil, dilakukan. Seperti dalam buku "Mereka adalah Para Shahabiyat" yang ditulis Mahmud Mahdi al-Istanbuli, aturan persaksian perzinaan adalah sebagai berikut:

1. Untuk lebih berhati-hati maka hukuman digagalkan apabila adanya suatu syubhat (yang samar), sehingga hukuman tidak dilaksanakan melainkan setelah yakin akan terjadinya suatu perzinaan.

2. Untuk memutuskan bahwa seseorang telah bertaubat zina, harus didatangkan empat saksi yang adil dari kaum laki-laki  maka tidak diterima kesaksian wanita dalam hal ini, begitu pula kesaksian seorang fasik (yaitu hamba yang menyimpang dari ketaatannya kepada Allah SWT dan melampaui batas dalam perbuatan dosa).

3. Hendaknya semua saksi benar-benar melihat terjadinya perzinaan tersebut dengan mata kepala sendiri seperti pensil masuk ke dalam botol atau ember masuk ke sumur.

4. Manakala di antara tiga saksi menyatakan dan melihatnya, sedangkan saksi yang keempat menyelisihi ketiga yang lain, atau salah seorang mencabut kesaksiannya maka ditegakkanlah hadd bagi yang munuduh (karena tidak dapat mendatangkan empat saksi yang menjadi syarat persaksian suatu perzinaan).

Sarjana Islam dari Zimbabwe, Mufti Menk dalam sebuah ceramahnya yang bisa disaksikan di Youtube mengatakan bahwa hukuman zina itu sebenarnya lebih kepada untuk mencegah daripada sebagai hukuman itu sendiri. 

"Hampir mustahil untuk dapatkan cukup empat orang saksi yang sembahyang cukup 5 waktu, dan di kalangan muslim yang terbaik yang boleh memberikan saksinya kepada hakim di mahkamah syariah dan menerangkan kepada hakim berkenaan apa yang dia telah nampak bagaimana perbuatan zina itu dilakukan," jelas Mufti yang lulusan Universitas Islam Madinah itu. 

"Bayangkan ada seorang lelaki yang mempunyai janggut yang panjang dan selalu sembahyang di saf pertama, dan dia melihat pasangan tengah bercumbuan, dia mungkin akan memalingkan pandangannya ke arah lain."

"Apakah masuk akal dia akan melihat dan mengintai, kemudian menelepon tiga orang kawannya yang dia tahu mempunya keimanan yang tinggi sama sepertinya untuk melihat dan meyaksikan perbuatan itu dan kemudian pergi ke mahkamah untuk menjadi saksi? Tidak hukuman rajam adalah untuk mencegah."

"Tidak pernah dalam sejarah Islam ada orang yang dirajam sampai mati kecuali melalui pengakuan sendiri. Saya harap Anda memahami itu. Kalau ada mesti terdapat sesuatu yang salah dengan sistem peradilan tersebut."

"Mustahil untuk dapatkan orang saksi di kalangan muslim yang paling terbaik, yang tidak pernah dikaitkan dengan perkara tidak elok. Apakah Anda tahu, jika anda bisa membuktikan seseorang itu pernah meninggalkan sembahyang, orang itu tidak layak untuk diterima kesaksiannya. Itu mustahil, Anda tidak akan dapat."

"Jadi perlu dipahami bahwa hukuman rajam adalah untuk pencegahan, dan untuk memberi tahu kita supaya jauhi zina itu karena itu adalah dosa yang sangat besar," kata Mufti Menk. 


(ACF)