Anak-anak Meninggal karena Kedinginan saat Badai Menerjang Gaza, Menewaskan 16 Orang

N Zaid - Palestina 13/12/2025
Anak-anak Meninggal karena Kedinginan saat Badai Menerjang Gaza. Foto: Arabnews
Anak-anak Meninggal karena Kedinginan saat Badai Menerjang Gaza. Foto: Arabnews

Oase.id - Hujan deras dan angin dingin yang menyapu Jalur Gaza kembali menambah derita warga yang telah lama hidup dalam pengungsian. Pada Jumat lalu, badai musim dingin yang dikenal sebagai Badai Byron membawa kabar duka: sedikitnya 16 warga Palestina meninggal dunia dalam 24 jam terakhir, termasuk tiga anak kecil yang wafat akibat kedinginan.

Badai ini mulai melanda Gaza sejak Rabu malam, membanjiri tenda-tenda pengungsian dan tempat perlindungan darurat yang selama ini menjadi satu-satunya rumah bagi jutaan warga. Hampir seluruh penduduk Gaza kini hidup sebagai pengungsi, setelah lebih dari dua tahun konflik berkepanjangan menghancurkan rumah dan lingkungan mereka.

Petugas pertahanan sipil Gaza menyampaikan bahwa tiga anak meninggal karena suhu dingin yang menusuk. Dua di antaranya berada di Kota Gaza, sementara satu lainnya di Khan Yunis, wilayah selatan Gaza. Rumah Sakit Al-Shifa mengonfirmasi wafatnya Hadeel Al-Masri yang baru berusia sembilan tahun serta Taim Al-Khawaja, bayi yang bahkan belum genap setahun. Sementara itu, Rumah Sakit Nasser di Khan Yunis melaporkan kematian Rahaf Abu Jazar, bayi delapan bulan, yang tinggal di tenda pengungsian Al-Mawasi.

Di tengah puing-puing bangunan yang rata dengan tanah, ribuan tenda plastik kini berdiri seadanya. Namun badai membuat tempat-tempat perlindungan rapuh itu tak mampu menahan hujan dan angin. Enam orang dilaporkan tewas akibat runtuhnya sebuah rumah di wilayah Bir Al-Naja, Gaza utara. Di kawasan Sheikh Radwan, dua jenazah ditemukan di bawah reruntuhan bangunan, sementara lima warga lainnya meninggal dalam insiden tembok roboh di lokasi berbeda.

Di kamp pengungsian Nuseirat, suasana muram menyelimuti warga. Air hujan menggenang di sekitar tenda, bercampur lumpur dan kotoran. Anak-anak kecil tampak berjalan tanpa alas kaki, sebagian hanya mengenakan sandal tipis, bermain di tengah genangan air dingin.

“Kami tidur di atas kasur yang basah sejak semalam,” ujar Umm Muhammad Joudah dengan suara lirih. “Tidak ada pakaian kering untuk anak-anak berganti.”

Kesulitan serupa dirasakan Saif Ayman, remaja 17 tahun yang harus berjalan dengan kruk akibat cedera. Ia mengatakan enam orang di keluarganya terpaksa tidur di satu kasur tanpa selimut. “Kami hanya menutupi tubuh dengan pakaian yang kami pakai,” katanya.

Menurut badan anak-anak PBB, suhu malam hari di Gaza bisa turun hingga delapan derajat Celsius. Dalam kondisi seperti itu, tenda-tenda plastik yang diterpa angin jelas tak mampu memberikan perlindungan yang layak. Selain dingin, masalah sanitasi menjadi ancaman serius. Genangan air bercampur limbah terlihat di dekat kamp pengungsian, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, terutama pada anak-anak.

“Kondisi ini sangat memprihatinkan,” kata perwakilan UNICEF. “Kami khawatir penyakit yang seharusnya bisa dicegah justru menyebar karena buruknya sanitasi.”

Meski gencatan senjata yang dimulai Oktober lalu sedikit melonggarkan masuknya bantuan ke Gaza, Perserikatan Bangsa-Bangsa menilai pasokan tersebut masih jauh dari cukup. Organisasi Kesehatan Dunia juga memperingatkan bahwa kombinasi cuaca ekstrem, sanitasi buruk, dan tempat tinggal yang tidak layak berpotensi memicu lonjakan penyakit pernapasan.

Di tengah badai dan keterbatasan, warga Gaza terus bertahan. “Kami manusia, kami punya perasaan,” kata Samer Mursi, pengungsi muda dari Deir el-Balah. “Kami bukan batu.”

Kisah-kisah ini kembali mengingatkan dunia akan pentingnya solidaritas kemanusiaan dan doa bagi mereka yang tertindas, terutama anak-anak yang seharusnya terlindungi, bukan justru meregang nyawa di bawah dinginnya musim dan kerasnya konflik.


(ACF)
TAGs: Palestina