Prof Quraish Shihab: Islam Ibarat Bangunan

Sobih AW Adnan - Kerukunan dan Toleransi 22/02/2020
Prof. Quraish Shihab (kiri) dan Abdul Kohar (kanan) dalam ralkshow NewsMaker yang tayang pada Kamis, 20 Februari 2020/tangkapan layar Youtube Medcom.id
Prof. Quraish Shihab (kiri) dan Abdul Kohar (kanan) dalam ralkshow NewsMaker yang tayang pada Kamis, 20 Februari 2020/tangkapan layar Youtube Medcom.id

Oase.id- Beberapa pekan lalu, Pemerintah Mesir menganugerahkan bintang tanda kehormatan tingkat pertama bidang Ilmu Pengetahuan dan Seni kepada cendekiawan Muslim Indonesia, Profesor Muhammad Quraish Shihab.

Quraish Shihab merupakan Menteri Agama Indonesia pada masa Soeharto. Pendiri Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ) ini dikenal sebagai ahli tafsir yang telah melahirkan puluhan karya tulis.

Penganugerahan diserahkan Perdana Menteri Mesir Musthafa Kamal Madbouli, mewakili Presiden Abdul Fattah al-Sisi pada pembukaan Konferensi Internasional tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Al-Azhar, Kairo, 27-28 Januari 2020.

Bintang tanda kehormatan yang dianugerahkan Pemerintah Mesir itu lazim diberikan kepada tokoh, ulama, dan cendekiawan dunia yang dianggap berjasa dalam melakukan pembaharuan di bidang pemikiran Islam dan menyebarkan pemahaman Islam yang moderat dan toleran.

Apa yang dimaksud pembaruan? Bagaimana cara penerapannya dalam Islam? Berikut adalah penjelasan Prof Quraish Shihab melalui tayangan NewsMaker Medcom.id, yang dikutip Oase.id pada Sabtu, 22 Februari 2020.

 

Tidak mengubah fondasi

Prof Quraish menjelaskan bahwa pembaharuan merupakan salah satu unsur penting yang perlu diterapkan dalam keberagamaan. Tujuannya, agar pesan-pesan agama bisa tetap dipahami dan dijalani umat manusia meskipun dalam masa, tempat, dan kondisi masyarakat yang berbeda-beda.

"Agama itu ibarat suatu bangunanan. Ia berfondasi. Jika sebuah rumah mengalami kebocoran, maka perlu diperbaiki cukup dengan mengganti satu atau dua buah gentinya saja. Hanya perlu memperbaiki yang sudah tidak berfungsi. Bukan untuk mengubah fondasi dan bentuk bangunan. Itulah yang dinamakan pembaruan," terang Quraish Shihab.

Untuk itu, menurut dia, pembaruan Islam hanya bisa dilakukan oleh tokoh atau ulama yang benar-benar paham dengan struktur keagamaan secara keseluruhan. Ide pembaruan, harus berumber dari orang yang sudah selesai dengan pemahaman keagamaan yang pokok dan turunannya.

"Jika pembaruan dimotori oleh yang belum paham mana maqashid syariah, dasar-dasar agama, atau rinciannya, maka yang terjadi bukan pembaruan, tapi perubahan. Itu yang tidak kita kehendaki," kata dia.

 

Ketetapan hukum berbeda

Lebih lanjut, Prof Quraish menerangkan bahwa prinsip utama dalam gerakan pembaruan Islam adalah tidak bertolak belakang dengan syariat. Jika pun menghasilkan ketetapan hukum yang beragam, itu sudah sangat lazim di sepanjang sejarah peradaban Islam.

"Perbedaan itu mutlak. Islam pun dalam rinciannya bisa berbeda-beda. Islam di Indonesia, mungkin secara rinci dan tradisinya bisa dengan masyarakat Muslim di Arab," kata Quraish.

Prof Quraish mencontohkan ketetapan hukum beragam yang menjadi landasan sejarah lahirnya banyak mazhab dalam Islam.

Baca: Mengenal Aneka Tafsir Al-Qur'an Karya Ulama Indonesia dan Ide Penamaan Al-Mishbah

 

"Imam Abu Hanifah di Persia, memiliki ketetapan hukum berbeda dengan ketentuan yang diajarkan Imam Syafii yang hidup di Mesir. Begitu pun Imam Syafii sendiri, menghadirkan pandangan berbeda ketika beliau masih di Irak dengan ketika sudah berada di Mesir," jelas Quraish.

Ketetapan hukum yang berbeda-beda tidak lahir begitu saja. Keberagaman tersebut bisa hadir lantaran pertimbangan kerangka berpikir seseorang, zaman, tempat, serta kondisi dan tradisi masyarakat di dalamnya.

"Nabi Daud dan Nabi Sulaiman menghadapi satu kasus yang sama, tapi ketetapan hukum mereka berbeda. Ada juga cerita, Imam Ghazali pernah didatangi dua orang yang bertanya apakah dirinya boleh berenang? Ketetapan hukum yang dikeluarkan Imam Ghazali berbeda, diperbolehkan bagi yang sudah pandai berenang, dan tidak diperbolehkan bagi yang belum pandai," jelas dia.

Selain tidak bertentangan dengan prinsip pokok dan ajaran utama Islam seperti keesaan Allah Swt, pengakuan terhadap Rasulullah Muhammad Saw dan beberapa ketentuan lain, dalam melakukan pembaruan juga dibutuhkan banyak pertimbangan lain.

"Jika sebuah pembaruan menimbulkan goncangan di tengah masyarakat, berarti ada yang keliru. Bisa jadi, kegaduhan itu muncul karena ide yang disampaikan, cara penyampaian, atau penerapannya yang memang tidak pas," kata dia.

 

Menyikapi perbedaan

Proses berikutnya yang tak kalah penting adalah sikap arif dalam menyikapi perbedaan yang dihasilkan. Untuk soal ini, bahkan Prof Quraish menitik-beratkan perlunya toleransi yang tidak hanya berlaku di internal Islam, akan tetapi meluas kepada seluruh agama dan keyakinan lain.

"Ada orang yang menganggap ketika berbeda keyakinan atau agama tidak boleh bekerjasama. Itu keliru. Sebab, yang Anda hadapi bisa saja saudara seagama, kalau tidak, ya, saudara dalam kemanusian. Sementara agama dan kemanusiaan tidak boleh dipertentangkan," kata dia.

Agama dan kemanusiaan sama-sama menawarkan pentingnya kasih sayang. Praktiknya adalah dengan tetap saling tolong menolong dan bekerja sama meskipun dalam kondisi identitas dan latar belakang yang berbeda-beda.

"Jangan menilai bahwa menghormati keyakinan orang lain otomatis mengakui kebenarannya. Itu dua hal yang berbeda. Dalam kondisi tersebut, berarti kita hanya sedang mengakui eksistensi yang lain dan meyakinkan bahwa bekerja sama itu tetap penting dilakukan di tengah perbedaan yang ada," ujar Prof Quraish.

 


(SBH)