Mengenal Aneka Tafsir Al-Qur'an Karya Ulama Indonesia dan Ide Penamaan Al-Mishbah

Sobih AW Adnan - Resensi 22/02/2020
Karikatur Penulis Tafsir Al-Mishbah Profesor M. Quraish Shihab/MI/Seno
Karikatur Penulis Tafsir Al-Mishbah Profesor M. Quraish Shihab/MI/Seno

Oase.id- Tafsir Al-Qur'an menjadi salah satu khazanah penting dalam sejarah intelektual umat Islam. Cabang keilmuan yang dikembangkan para ulama masyhur ini bertujuan untuk menghadirkan kemudahan bagi masyarakat dalam memahami kandungan kitab suci secara terperinci, termasuk penjelasan terhadap ayat-ayat yang bersifat samar.

Dalam literatur Islam, paling tidak dikenal 5 kitab tafsir Al-Quran yang cukup berpengaruh. Yakni, Tafsir Al-Thabari karya Muhammad bin Jarir atau lebih dikenal dengan sebutan Imam At-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir karya Imaduddin Abul Fida' Ismail bin Amr bin Katsir, Tafsir Al-Qurtuby karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby, Tafsir Al-Jalalain karya Jalaluddin Abu Abdillah Muhammad bin Syihabuddin Ahmad Al-Mahalli yang kemudian dilanjutkan muridnya, Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin Jalaluddin As-Suyuthi, serta Tafsir As-Suyuthi yang ditulis Imam Jalaluddin As-Suyuthi secara tunggal.

Kitab-kitab tafsir Al-Qur'an yang rata-rata terdiri dari puluhan jilid itu masih dijadikan rujukan hingga hari ini. Di Indonesia, karya-karya tersebut dimasukkan ke dalam kurikulum dan sumber kajian wajib di keumuman pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya.

 

Karya ulama Indonesia

Berat dan ketatnya syarat menjadi mufasir alias penulis tafsir, menjadikan tidak semua tokoh dan ulama mampu menghadirkan karya dalam keilmuan ini.

Untuk menjadi mufasir, seseorang harus menguasai banyak cabang keilmuan lain seperti lughat atau filologi, nahwu (tata bahasa), sharaf (morfologi), isytiqaq (akar kata), ma'ani (struktur kata), balaghah (kesastraan), qiraat (teknik membaca), ushul fiqh (kaidah hukum), asbabun nuzul (latar belakang turunnya ayat), nasikh mansukh (proses pembaruan hukum), dan sebagainya.

Seabrek perangkat keilmuan itu, belum cukup. Seorang mufasir juga harus mempunyai kriteria khusus yang bersumber dari pengakuan publik. Seperti, kecerdasan yang mumpuni, jalur guru dan pendidikan (sanad) yang terhubung hingga ke Rasulullah Muhammad Saw, jujur, berakhlak baik, dan lainnya.

Fakta uniknya, tidak semua karya tafsir lahir dari tangan ulama-ulama Timur Tengah. Termasuk Indonesia, sejak dulu sudah muncul tokoh alim yang mampu mempersembahkan karya terbaiknya di bidang tafsir Al-Qur'an.

Baca: 5 Ulama Indonesia yang Mendunia

 

Tafsir Al-Qur'an pertama yang lahir dari kecerdasan ulama Indonesia -saat itu masih Nusantara- adalah kitab berjudul Turjuman Al-Mustafid. Buku ini ditulis ulama terkenal bernama Syaikh Abd Al-Rauf As-Sinkili yang berasal dari Aceh. Turjuman Al-Mustafid, dicetak pertama kali di Maktabah Utsmaniyah, Istanbul, Turki pada 1884.

Tafsir Al-Qur'an terkenal karya ulama Indonesia lainnya adalah Tafsir Faidl Al-Rahman yang ditulis Syekh Soleh Darat, Semarang, dan Tafsir Marah Labid atau yang lebih dikenal dengan Tafsir Munir karya Syekh Nawawi Al-Bantani asal Banten.

Di era berikutnya, wawasan tafsir Al-Quran di Indonesia diperkaya dengan kehadiran Al-Ibriz karya KH Bisri Musthofa, ayah dari tokoh kharismatik KH Musthofa Bisri asal Rembang, Jawa Tengah, juga Tafsir Al-Azhar karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau masyhur disapa Buya Hamka. Dia adalah sosok berpengaruh sekaligus Ketua Umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) asal Kabupaten Agam, Sumatra Barat.

Hari ini, tradisi penulisan tafsir di Indonesia juga diwarnai dengan kehadiran buah karya cendekiawan Profesor M. Quraish Shihab dengan nama Tafsir Al-Mishbah. Buku tafsir Al-Qur'an yang terdiri 15 volume inilah yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan bagi Pemerintah Mesir dalam menganugerahkan bintang tanda kehormatan tingkat pertama bidang Ilmu Pengetahuan dan Seni pada akhir Januari 2020 lalu.


Al-Mishbah, cahaya berlipat ganda

Prof Quraish Shihab menceritakan awal mula proses penulisan Tafsir Al-Mishbah yang dimulai ketika ia harus berangkat ke Mesir untuk menjabat sebagai Duta Besar (Dubes) pada 1999. Menurutnya, keleluasaan waktu di Negeri Piramida itu menjadikannya lebih fokus dalam mewujudkan buku yang terbit pertama kali pada tahun 2000 tersebut.

Baca: Pemerintah Mesir Anugerahi M. Quraish Shihab Bintang Kehormatan

 

"Sebelum ditugaskan menjadi Dubes di Mesir sebenarnya sudah banyak teman yang meminta saya menulis (tafsir). Saya menjawab, bahwa dalam menulis perlu waktu yang cukup, fokus, dan kemampuan materi," aku Prof Quraish dalam wawancara khusus program NewsMaker Medcom.id, yang Oase.id kutip pada Sabtu, 22 Februari 2020.

Di Mesir, kata Quraish, tanggung jawabnya sebagai Dubes tidak begitu besar karena hubungan Indonesia dan negara tersebut relatif hangat tanpa masalah. Belum lagi, akses tokoh ulama sebagai mitra diskusi, buku-buku, dan tempat kerja cenderung mendukung dan mempermudah jalannya proses penulisan.

"Buya Hamka menulis Tafsir Al-Azhar di dalam penjara. Saya kira, saya pun saat itu menulis di dalam penjara karena relatif tidak harus pergi ke banyak tempat," kelakar pendiri Pusat Studi Al-Quran (PSQ) Jakarta tersebut.

 

Ihwal sebutan Al-Mishbah, kata Prof Quraish, pemilihan nama itu bukan sembarang. Keputusan memberi judul besar karya monumentalnya itu terinspirasi dari firman Allah Swt tentang cahaya dalam QS. An-Nur: 35;

"...Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

"Ayat itu menggambarkan cahaya Ilahi itu seperti Mishbah (pelita). Pelita itu dinyalakan dengan satu sumbu dengan minyak yang sangat jernih. Minyaknya saja sudah bercahaya, meskipun tidak menyala. Cerminnya sedemikian bening setara bintang," jelas Quraish Shihab.

Dengan penamaan itu, Prof Quraish memimpikan segala yang sudah ia tulis dan sumbangkan kepada publik bisa membantu menggambarkan kebesaran Allah Swt yang telah ditunjukkan melalui ayat per ayat dalam kitab suci Al-Qur'an.

"Saya berharap bahwa penjelasan yang dituangkan dalam Al-Mishbah mencerminkan sekelumit dari cahaya itu. Cahaya yang sejatinya berlipat ganda," tutup Prof Quraish. 
 

 


(SBH)
TAGs: Resensi