Mengapa Ulama Salaf Berwudhu Sebelum Menyampaikan Hadis Nabi? Ini Penjelasannya

Oase.id - Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah ﷺ. Di antara bentuk penghormatan tertinggi kepada ajaran Islam adalah menjaga adab ketika berinteraksi dengan sabda-sabda Nabi Muhammad ﷺ.
Para ulama salaf, khususnya para ahli hadis, menunjukkan penghormatan luar biasa terhadap hadis Nabi — tidak hanya dengan menjaga keaslian sanad dan matan, tetapi juga dengan menjaga adab lahir dan batin saat meriwayatkannya.
Berwudhu Sebelum Menyampaikan Hadis
Dalam kajian Islam yang dikumpulkan oleh situs IslamQA.info, disebutkan bahwa para ulama salaf terdahulu — termasuk para tabi’in dan ahli hadis — menganggap dianjurkan (mustahabb) untuk dalam keadaan suci (berwudhu) saat meriwayatkan hadis Nabi ﷺ. Bahkan sebagian dari mereka menganggap makruh menyampaikan hadis tanpa wudhu.
Diriwayatkan dalam Musannaf `Abd ar-Razzaq (no. 1344) dan Ta’zhim Qadr as-Shalah karya al-Mirwazi (no. 733), dari Qatadah rahimahullah, ia berkata:
“Disunnahkan untuk tidak membaca hadis Nabi ﷺ kecuali dalam keadaan suci (berwudhu).”
Sanad riwayat ini dinyatakan sahih. Pendapat serupa juga dinukil dari Dirar bin Murrah, sebagaimana dicatat dalam Jami‘ Bayan al-‘Ilm karya Ibn ‘Abd al-Barr dan Al-Muhaddits al-Fashil karya al-Ramhormuzi, yang menyatakan bahwa:
“Mereka (para tabi‘in) tidak menyukai menyampaikan hadis kecuali dalam keadaan suci.”
Keteladanan Imam Malik
Imam Malik bin Anas, seorang imam besar dari Madinah dan pendiri Mazhab Maliki, dikenal sebagai sosok yang sangat menghormati hadis Nabi ﷺ. Diriwayatkan dari Abu Mus’ab az-Zuhri bahwa Imam Malik tidak akan meriwayatkan hadis kecuali setelah berwudhu, dan beliau bahkan mengenakan pakaian terbaik, menyisir janggutnya, dan duduk dengan penuh wibawa sebelum menyampaikan hadis.
Ketika ditanya mengapa ia bersusah payah melakukan semua itu, beliau menjawab:
“Aku melakukan ini sebagai bentuk penghormatan terhadap hadis Rasulullah ﷺ.”
Riwayat ini terdapat dalam Musnad al-Muwatta’, Qawa‘id karya Ibn Nasr, dan Al-Jami‘ li Akhlaq ar-Rawi karya al-Khatib al-Baghdadi. Semua sanadnya dinyatakan sahih.
Tidak Wajib, Tapi Sangat Dianjurkan
Para ulama seperti Imam an-Nawawi dalam At-Taqrib dan as-Sakhkhawi dalam Fath al-Mughits menyatakan bahwa berwudhu saat membaca atau meriwayatkan hadis bukanlah kewajiban syariat, melainkan tindakan mulia yang sangat dianjurkan sebagai bentuk pengagungan terhadap sabda Rasulullah ﷺ.
Bahkan, as-Sakhkhawi menyebut bahwa sebagian ulama melakukan wudhu seperti hendak salat, dan bahkan ghusl (mandi junub), sebelum mereka membaca hadis. Hal ini bukan karena wajib, tetapi untuk memperkuat kehadiran hati dan rasa takzim terhadap ilmu.
Al-Khatib al-Baghdadi dalam Al-Jami‘ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami‘ menegaskan:
“Mereka yang memakruhkan membaca hadis dalam keadaan berjalan, berdiri, berbaring, atau tanpa wudhu, melakukannya sebagai bentuk penghormatan, bukan karena hal itu haram atau berdosa. Bahkan jika membaca Al-Qur’an dalam keadaan demikian diperbolehkan, maka membaca hadis pun lebih utama diperbolehkan.”
Penghormatan para ulama terdahulu terhadap hadis Nabi ﷺ tidak hanya diwujudkan dalam tulisan dan hafalan, tetapi juga dalam sikap tubuh, kebersihan diri, dan tata cara duduk. Ini menjadi teladan agung bagi generasi setelahnya: bahwa ilmu bukan sekadar informasi, tapi warisan mulia yang harus dijaga adab dan kehormatannya.(IslamQA.info)
(ACF)