Asal Penamaan Bulan Syawal

Sobih AW Adnan - Idulfitri 2020 26/05/2020
Photo by WAQAR AHMAD from Pixabay
Photo by WAQAR AHMAD from Pixabay

Oase.id- Syawal adalah bulan ke-10 dalam penanggalan Hijriah. Sebagaimana bulan-bulan sebelumnya, penamaan bulan ini juga tak lepas dari cerita dan sejarah.

Muhammad bin Allan Al-Shiddiqi dalam Dalil Al-Falihin menjelaskan, nama Syawal diambil dari kalimat Sya-lat al-ibil, seekor unta yang mengangkat ekornya. 

Sementara menurut Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab-nya menegaskan, Syawal berasal dari perkataan Syalat an-naqah bi dzanabiha, dengan makna senada, yakni unta betina yang menegakkan ekornya.

Lebih lanjut Ibnu Manzur menerangkan, para ahli bahasa terdahulu menyandarkan riwayat penamaan itu pada peristiwa yang biasa terjadi di bulan ini. Fenomena itu dikenal dengan istilah Tasywil laban al-ibil, alias kondisi susu unta yang sedikit. 

Alhasil, Syawal diambil dari kata Syawwala yang bermakna "menjadi lebih sedikit dari sebelumnya."

Baca: Hukum, Keutamaan, dan Niat Puasa Sunah Syawal

 

Kepercayaan Jahiliyah

Sebelum datang risalah Nabi Muhammad Saw, cerita asal nama Syawal ini melahirkan beberapa pantangan. Di antaranya, ketabuan melaksanakan pernikahan sebelum usai bulan Syawal.

Kalimat Syalat an-naqah bi dzanabiha, misalnya, dengan makna seekor unta betina yang menegakkan ekornya itu bermula dari kecenderungan unta-unta betina yang enggan didekati pejantan. Ekor yang diangkat menandakan penolakan, bahkan perlawanan.

Dari situ, lantas muncullah kesimpulan masyarakat Arab sebelum Islam bahwa menikah di bulan Syawal menjadi sebuah hal yang tabu, bahkan dilarang.

 

Begitu pula cakapan Sya-lat al-ibil yang lebih diarahkan pada kecenderungan orang Arab yang menggantungkan alat-alat tempur mereka. Masyarakat Jahiliyah menjadikan Syawal sebagai bulan pantang berperang karena sudah mendekati bulan-bulan haram. 

Baca: Ucapan Lebaran, Minal Aidin wal Faizin atau Taqabbalallahu Minna wa Minkum?

 

Setelah kenabian

Islam datang tidak cuma menegakkan keesaan Allah Swt, akan tetapi juga menata tradisi masyarakat yang kurang baik, termasuk mitos-mitos yang merugikan di dalamnya.

Salah satunya adalah kepercayaan pantangan menikah di bulan Syawal. Melalui hadis yang menceritakan dirinya saat dinikahi Nabi Saw, Aisyah berkata;

"Rasulullah Saw menikahi aku pada bulan Syawal dan menggauliku pada bulan Syawal. Lalu manakah istri-istri beliau SAW yang lebih beruntung dan dekat di hatinya dibanding aku?" (Muttafaq ‘Alaih).

Dalam Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim bin Al-Hajjaj, Syekh Muhyiddin Syaraf An-Nawawi menegaskan bahwa hadis ini bermaksud menyangkal kepercayaan masyarakat Jahiliyah tentang mitos ketabuan menikah, menikahkan, atau berhubungan suami istri di bulan Syawal. Bahkan, oleh mazhab Syafii, hadis tersebut berbalik menjadi dalil kesunahan menikah setelah bulan Ramadan.

Hal serupa, bahkan diubah Nabi Muhammad Saw dalam segi strategi tempur. Demi membela tegaknya agama Islam, Nabi tetap menjawab tantangan pertempuran di bulan Syawal, di antaranya Perang Bani Qainuqah dan Perang Uhud yang terjadi pada 17 Syawal 3 H. 

 

Sumber: Disarikan dari keterangan dalam Dalil Al-Falihin li Syarh Riyadh Al-Shalihin karya Muhammad bin Allan Al-Shiddiqi Al-Syafii Al-Makki, Lisanul Arab karya Jamaluddin Muhammad bin Mukarram bin Ali atau lebih dikenal Ibnu Manzur, serta Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim bin Al-Hajjaj karya Syekh Muhyiddin Syaraf An-Nawawi.


(SBH)