Cemas Berlebihan karena Media Sosial alias FOMO? Bagaimana Cara Menghadapinya?

Sobih AW Adnan - Psikologi Remaja 15/12/2019
Ilustrasi dari Shutterstock via Medcom.id
Ilustrasi dari Shutterstock via Medcom.id

Oase.id- Dikenal sebagai digital natives, generasi post-millenial memiliki tendensi untuk menggunakan internet -terutama media sosial- demi memenuhi berbagai kebutuhan psikologisnya. Saat merasa dunia sedang tidak bersahabat, kesepian, bosan, ataupun ketika merasakan emosi positif seperti bahagia, euforia dan lainnya, kita menjadikan internet sebagai salah satu solusi utama untuk menghadapi dan menyalurkan emosi serta kebutuhan-kebutuhan tersebut. 

Salah satu faktor yang mendorong kita untuk stay up to date dengan berbagai notifikasi di media sosial adalah kebutuhan akan keterkaitan dengan orang lain atau relatedness need. Kita selalu ingin mengetahui apa yang dialami atau dilakukan orang lain tepat pada waktunya. Informasi mengenai orang lain menjadi penting bagi karena dapat membuat kita merasa “tidak ketinggalan” dan “berada pada frekuensi yang sama” dengan banyak orang lainnya. 

Nah, sayangnya, defisit pada pemenuhan kebutuhan ini dapat membuat seseorang mengalami Fear Of Missing Out (FOMO), apakah itu?

Bukan cuma kecanduan internet

Beberapa dari kita mungkin sudah familiar dengan istilah FOMO. Istilah itu dipakai untuk menggambarkan perilaku bermedia sosial seseorang yang tampak berlebihan. 

Di dalam psikologi, FOMO dijelaskan sebagai suatu kondisi ketika seseorang merasakan kecemasan saat melewatkan hasrat dan pengalaman terhubung dengan orang lain. Kecemasan ini membuat seseorang terdorong untuk secara terus menerus mencari tahu apa yang orang lain lakukan atau alami melalui media sosial. 

Bila kita dengan sengaja terus menerus mengecek insta-stories atau Whatsapp-story dari rekan-rekan kita, atau menghabiskan banyak waktu scrolling down Facebook feed maupun Instagram feed untuk meng-update pengetahuan tentang apa yang orang lain lakukan atau alami dalam hidupnya, bisa jadi kita mengalami FOMO.

Lantas, apakah FOMO berbahaya? 

Satu hal yang perlu kita pahami adalah bahwa FOMO berbeda dengan perilaku adiktif terhadap internet.

FOMO memang dapat mendorong kita untuk secara impulsif mengecek media sosial. Namun, tidak semua orang yang mengalami FOMO juga pasti mengalami ketergantungan terhadap internet. 

Sayangnya, tidak jarang seseorang yang merasakan kecemasan ini, lebih memilih shortcut dengan membuka media sosial untuk meredam kecemasannya. Padahal, upaya ini hanya akan meredam kecemasannya sesaat sebelum akhirnya kembali timbul karena menyadari terdapat beberapa informasi yang tetap dilewatkannya. 

Bila kita menyadari gambaran kondisi FOMO di atas persis dialami oleh kita sendiri, jangan panik. Ada berbagai smart steps yang dapat dilakukan untuk sedikit demi sedikit mengurangi kecemasan tersebut dan terlepas dari hasrat yang tinggi untuk terikat dengan media sosial. Kabar baiknya, kita telah melewati satu step dengan menyadari dan menerima kondisi tersebut terjadi pada diri kita. 

Beberapa langkah lainnya adalah;

Tahan

Saat kecemasan datang dan kita terdorong untuk mengecek media sosial secara impulsif, upayakan untuk tidak langsung mengambil handphone dan membuka media sosial. Ingat, akar dari kecemasan ini adalah kebutuhan untuk terkait dengan orang lain. Maka, coba hadapi kecemasan dengan menjalin keterkaitan dengan orang lain di dunia nyata. 

Misalnya, dengan mengajak ngobrol teman-teman sekolah yang sedang berada di sekitar kita. Atau saat kita berada di rumah, situasi ini dapat digunakan untuk menjalin interaksi lebih mendalam dengan anggota keluarga. Bahkan, kita dapat menceritakan kecemasan yang sedang kita alami kepada orang-orang tersebut. 

Menata hubungan

Perbaiki pola dan kualitas hubungan dengan significant others alias keluarga dan rekan terdekat. Kehadiran gadget terkadang mengalihkan perhatian kita dari orang-orang terdekat yang sebenarnya lebih memiliki pengaruh dalam hidup. 

Bisa jadi, kita lebih peduli apa kata banyak orang yang tidak begitu mengenal kita, ketimbang orang terdekat yang tumbuh berkembang bersama. Kita pelu mengevaluasi apakah interaksi dengan orang terdekat hanya menyentuh permukaan hubungan atau telah memasuki bagian yang lebih mendalam? 

Peduli dunia nyata

Cobalah untuk Lebih “aware” dengan apa yang terjadi di dunia nyata. Tentunya, kesadaran ini bisa dicapai jika kita tidak melulu memfokuskan padangan ke layar handphone. Tebarkan pandangan ke sekitar dan sadari berbagai dinamika yang terjadi di sekitar kita. Dengan kesadaran penuh, kita tidak lagi membutuhkan notifikasi untuk memastikan kita terkoneksi dengan dunia maya. 

Aktivitas menarik

Salah satu cara paling efektif untuk melepaskan diri dari gadget adalah dengan mengisi setiap waktu dalam sehari dengan berbagai aktivitas yang menarik, bermanfaat dan penting. Get invloved in our own life then. Buat jadwal-jadwal yang dapat menggugah semangat, libatkan diri dengan hal-hal baru atau sudah lama hanya tercatat dalam wishlist kita. Bangun pertemanan-pertemanan baru di dunia nyata dan nikmati setiap prosesnya. 

Rubrik ini diampu Psikolog Remaja Muharini Aulia (@auliyarini). Pertanyaan lebih lanjut bisa dilakukan dengan mengubungi redaksi Oase.id


(SBH)