Menelaah Makna Emansipasi dalam Islam

Siti Mahmudah - Perempuan muslim 21/04/2021
Ilustrasi: Gambar oleh Sammy-Williams dari Pixabay
Ilustrasi: Gambar oleh Sammy-Williams dari Pixabay

Oase.id - Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), emansipasi adalah pembebasan dari perbudakan atau persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti persamaan hak perempuan dengan laki-laki.

Emansipasi yang kita anggap merupakan kesetaraan peran antara perempuan dan laki-laki, terkadang membuka anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, sehingga pada kondisi yang berbeda, Perempuan lajang akan sulit memutuskan menikah jika memiliki pendidikan yang cukup tinggi atau pun memiliki penghasilan sendiri.

Hal ini tidaklah salah. Bukankah agama telah menjelaskan, bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, seperti dijelaskan dalam Quran surah An-Nisa ayat 34 yang artinya, “Laki-laki itu pemimpin bagi perempuan”. 

Maksud dari ayat tersebut adalah, adanya kesetaraan dan kebersamaan antara laki-laki dan perempuan. Kepemimpinan laki-laki dan perempuan adalah dua hal yang harus dilengkapi dengan penuh kesalingan. Saling memahami, saling melengkapi, dan saling yang lainnya.

Kepemimpinan dalam rumah tangga adalah sebuah tanggung jawab bersama, bukan sebuah sikap diktator yang memerintah secara otoriter.

Dalam Islam, kedudukan antara perempuan dan laki-laki adalah sama. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Quran surah Al ahzab ayat 35. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Pembatasan peran yang didefinisikan sebagai pengekangan terhadap kebebasan perempuan adalah tidak benar. Jika perempuan mengembalikan eksistensi kepada fitrahnya, tentu akan lebih mudah memaknai perannya sebagai perempuan.  

Rasulullah ﷺ dalam hadisnya, ia bersabda:

“Jika seorang wanita melaksanakan salat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menaati suami, dan menjaga kehormatannya, maka masuklah dia ke dalam surga dari pintu mana pun.”

Definisi fitrah perempuan secara jelas oleh ibnu Hibban dari hadis Abu Hurairah bin ‘Auf yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menjelaskan, eksistensi perempuan yang sesungguhnya adalah tidak menambah-nambah pemaknaan emansipasi yang terkadang dibiaskan definisinya. 

Kedudukan perempuan dalam Islam sangatlah diatur, baik kedudukan sebagai anak, kedudukan sebagai istri, kedudukannya sebagai ibu, kedudukan dalam menentukan pilihan, serta kedudukannya sebagai individu. Dan ini sungguh mulia.

Misalnya, kedudukan perempuan sebagai istri telah diatur dalam Islam, yakni Allah memerintahkan kepada para suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik seperti dijelaskan dalam surah An-Nisa ayat 19:

"Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.”

Selanjutnya, kedudukan perempuan sebagai ibu telah diatur dalam hadis Nabi ﷺ yang menyebutkan, bahwa kedudukan ibu lebih mulia daripada ayahnya.

Suatu ketika dalam riwayat hadis Bukhari dan Muslim dijelaskan, ada seorang sahabat Nabi bertanya tentang orang yang paling berhak untuk mendapatkan perlakuan baik.

Ia bertanya: “Wahai Rasulullah siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?”

Rasul menjawab: “Ibumu”

Ia bertanya: “Kemudian siapa?”

Rasul menjawab:“Ibumu”.

Orang itu kembali bertanya: “Kemudian siapa?

Rasul menjawab lagi: “Ibumu”.

Tanya orang itu lagi: “Kemudian siapa?”

Rasul menjawab: “Kemudian ayahmu’”

Halnya dalam menentukan pilihan, perempuan tidak didiskriminasi oleh agama. Yakni, dibuktikan dengan hadis Rasulullah ﷺ dari Aisyah, Ia berkata:

“Saya bertanya kepada Nabi tentang seorang gadis yang dinikahkan oleh walinya, apakah harus dimintai izinnya atau tidak? Beliau menjawab, ‘Ya harus dimintai izinnya’. Aisyah berkata, saya lantas berkata kepada beliau, ‘sesungguhnya seorang gadis itu pemalu’. Beliau menjawab, "Karena itulah izinnya adalah ketika ia diam.” 

Ibnu Abbas menceritakan, bahwa Nabi bersabda:

“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Seorang gadis itu dimintai izinnya, Tanda persetujuannya adalah dengan diam.”

Seorang perempuan juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu. Mereka dapat menimba ilmu sebanyak-banyaknya, sebagaimana laki-laki. Karena perempuan adalah “madrasatul ula” atau sekolah pertama bagi anak-anaknya, sehingga kelak melahirkan generasi penerus yang hebat dan brilian. Jadi, perempuan harus memiliki akhlak yang baik, pintar dan cerdas.

Dari argumentasi di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa peran perempuan dan laki-laki di mata Islam sama dan istimewa. Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk bergerak dalam ranah luas dan beragam. Di mata Tuhan kita sama. Tidak ada yang dibedakan, yang membedakan hanyalah iman dan takwa.


(ACF)