Mereguk Ketenangan Malam Istanbul dalam Secangkir Kehangatan Boza
Oase.id - Musim dingin mulai terasa sungguh-sungguh. Udara makin dingin, malam datang lebih cepat, dan orang-orang memilih berdiam di dalam rumah sambil memandang dunia luar dari balik jendela. Di tengah suasana itu, satu rasa lama yang telah menemani malam-malam di Turki selama berabad-abad kembali hadir dengan tenang: boza.
Dulu dikenal sebagai minuman khas musim dingin era Ottoman, boza kini mengalami kebangkitan yang menarik di Türkiye. Ia tak lagi sekadar nostalgia, tetapi menjadi simbol kembalinya budaya menikmati waktu secara perlahan. Dalam semangat Slow Food—yang menjunjung cita rasa lokal, tradisi, dan proses yang sabar—boza menempati posisi istimewa sebagai salah satu minuman warisan Ottoman yang masih bertahan hingga kini.
Disiapkan segar di rumah atau dibeli dari penjual jalanan, boza bukan hanya diminum, tapi dinikmati sebagai ritual. Ia mengumpulkan orang-orang di sekitarnya, membuka obrolan, dan menciptakan kehangatan di malam dingin.
Kembalinya Penjual Boza ke Jalanan
Beberapa tahun terakhir, kedai boza kembali bermunculan. Tak hanya itu, penjual boza keliling dengan gerobak khas mereka juga kembali menyusuri jalan-jalan. Gayung tembaga klasik kembali terlihat, aroma kacang arab sangrai menguar di udara, dan toko-toko kecil yang menjual pelengkap boza ikut hidup kembali.
Semua ini menandakan satu hal: boza telah kembali ke pusat kehidupan budaya.
Boza sendiri adalah minuman yang lahir dari proses perlahan. Ia difermentasi dengan sabar, mengental sesuai waktunya sendiri, tanpa bisa dipercepat. Saat ditaburi kayu manis dan kacang sangrai, boza berubah dari sekadar minuman menjadi pengalaman rasa yang sarat emosi. Tegukan pertama membawa dingin musim dingin, tegukan kedua mengingatkan pada suasana jalanan, dan tegukan ketiga menghadirkan nostalgia masa lalu.
Jejak Boza dalam Sejarah Kota
Kisah boza adalah kisah ritme kota-kota Ottoman. Sejak abad ke-16, seruan khas “Boozaaa!” yang menggema di jalanan Istanbul menjadi salah satu suara malam paling ikonik. Penjual boza tak sekadar menjajakan minuman, tetapi membawa cerita dari satu rumah ke rumah lain.
Di masa lalu, bozahane—kedai boza—menjadi ruang berkumpul warga. Di sanalah orang menghangatkan diri, berbincang, dan menghabiskan malam panjang musim dingin. Jika kedai kopi menjadi pusat obrolan siang hari, bozahane adalah ruang hening dan reflektif di malam hari. Dari orang miskin hingga bangsawan, semua menikmati boza tanpa sekat.
Tradisi ini sempat memudar seiring urbanisasi dan modernisasi. Seruan boza menghilang, dan minuman ini sempat tereduksi menjadi produk kemasan. Namun kebangkitan boza hari ini menunjukkan bahwa tradisi itu tidak pernah benar-benar hilang—hanya menunggu untuk kembali.
Boza di Mata Generasi Modern
Kini, ketika anak muda merekam penjual boza dengan ponsel dan membagikannya di media sosial, terjadi pertemuan unik antara tradisi dan modernitas. Kota mendengar kembali suara yang sempat terlupakan.
Sosok Mevlüt dalam novel A Strangeness in My Mind karya Orhan Pamuk menggambarkan hal ini dengan kuat. Dengan gayung tembaga di tangan, Mevlüt menjual boza sambil menjaga denyut memori kota. Setiap panggilannya bukan hanya ajakan membeli, tetapi undangan untuk terhubung.
Boza, dalam konteks kota modern yang serba cepat, hadir sebagai penyeimbang. Ia mengajak orang berhenti sejenak, memperlambat langkah, dan membuka ruang interaksi yang kian langka.
Filosofi Lambat dalam Secangkir Boza
Popularitas boza hari ini bukan semata karena nostalgia. Di tengah kehidupan urban yang padat dan melelahkan, boza menawarkan ketenangan. Teksturnya yang kental, rasanya yang hangat, dan cara menikmatinya yang perlahan menghadirkan kembali rasa kebersamaan.
Penjual boza di jalanan tak sekadar membawa minuman, tetapi juga ritual. Boza menolak tergesa-gesa—sama seperti percakapan yang tulus tak bisa dipaksakan. Di kota-kota besar yang kian individualistis, boza menjadi ruang temu yang sederhana namun bermakna.(Dailysabah)
(ACF)