RA Kartini: Membela Hak Wanita Lewat Sebuah Pena

Siti Mahmudah - Perempuan muslim 21/04/2021
Gambar oleh Samuel F. Johanns dari Pixabay
Gambar oleh Samuel F. Johanns dari Pixabay

Oase.id - Tanggal 21 April diperingati sebagai hari lahir Raden Ajeng Kartini. Beberapa orang, utamanya pejuang hak-hak perempuan hari ini sedang ikut memeringatinya. Lalu, siapa sebenarnya R.A Kartini? 

R.A Kartini adalah anak seorang bangsawan asal Jepara. Ia dikenal sebagai sosok perempuan pejuang emansipasi wanita pada zamannya. Sejak remaja, ia peduli dengan sosialnya. Ia tumbuh di kalangan anak-anak perempuan yang terdiskriminasi. 

Akan tetapi, kultur diskriminasi tersebut terpendam begitu saja melihat kultur perempuan Jawa yang menganggap perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Kultur tersebut sudah demikian lamanya tertanam di kalangan masyarakat Jawa. Hal ini nyata terjadi tatkala Kartini ingin dipersunting oleh seorang bangsawan yang memiliki banyak istri, sehingga Kartini melawan.

Selain itu, Kartini merupakan perempuan yang mencetuskan pendidikan. Ia berpendapat, bahwa hanya melalui pendidikan, kondisi bangsanya dapat terangkat sejajar dengan orang-orang Belanda lainnya.

Pada tahun 1902, Kartini mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan. Hal ini merupakan bukti bahwa Kartini memang benar – benar berjuang demi perempuan. Berjuang melawan diskriminasi dan ketidakadilan kala itu.

Cara berjuang ala Kartini

Berbeda dengan Cut Nyak Dhien yang berjuang dengan menggunakan fisik untuk melawan Kolonialisme. Begitu pun dengan Cut Nyak Meutia melawan Belanda dengan sebilah rencongnya dan Martha Christina Tiahahu yang mengangkat senjata kala berhadapan dengan Belanda. Kartini hanya berjuang dengan pena. Melalui tulisan, ia melakukan perlawanan. Kritikan-kritikannya terhadap penjajah Belanda kala itu sangat tajam.

Pramoedya Ananta Toer dalam tulisan yang berjudul “Panggil Aku Kartini Saja” mengungkapkan, bahwa perjuangan Kartini juga melalui seni. Seni utama yang dikuasainya adalah mengarang (menulis).

Tujuan mengkritik melalui tulisan adalah demi memperhatikan nasib para perempuan Jawa yang banyak mengalami diskriminasi. Dengan tulisannya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Kartini berusaha mengungkapkan sosok perempuan yang tidak punya hak dan kebebasan, persamaan derajat perempuan, serta tentang perempuan yang tidak memiliki pendidikan tinggi yang setara dengan orang-orang Belanda dan laki-laki.

Dalam memperjuangkan emansipasi wanita Jawa pada saat itu, Kartini memiliki hambatan cukup keras. Bukan hanya dari pihak Belanda saja. Akan tetapi, tantangan tersebut datang dari kultur perempuan Jawa, perempuan yang siap nikah kapan saja dikehendaki, perempuan Jawa yang tidak memiliki masa depan, yang harus siap diperistri oleh laki-laki yang bahkan sudah memiliki istri dua, empat, enam, bahkan lebih (budaya patriarki). 

Dengan adanya kritikan-kritikan yang ditulis Kartini, budaya tersebut lambat laun mulai redup dan berangsur-angsur membaik. Perempuan Jawa perlahan mulai mendapatkan tempat yang layak. Bahkan, sudah ada yang mengenal pendidikan.

Walaupun emansipasi yang diperjuangkan Kartini hanya untuk perempuan Jawa, tetapi refleksi dan nilai perjuangannya bisa dirasakan oleh perempuan-perempuan lain di Indonesia. Bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama, setara. Yang membedakan hanyalah kodratnya (bersifat biologis), karena bawaan dari Tuhan dan mutlak tidak bisa diubah.


(ACF)